Secara mendasar konsep kedaulatan pangan (food sovereignty) jelas berbeda atau bahkan melampaui konsep ketahanan pangan (food security). Konsep ketahanan pangan lebih berorientasi pada kemudahan akses bagi semua orang untuk memperoleh ketersediaan pangan pada setiap saat. Tentang stok pangan diproduksi dengan cara bagaimana, berasal dari mana dan diproduksi siapa, bukanlah soal penting. Sementara konsep kedaulatan pangan lebih berorientasi pada penguasaan produksi oleh petani (peasant) itu sendiri, baik itu akses tanah, air, benih, pupuk dan sumber daya alam lainnya beserta keseinambungan proses budidaya tersebut.
Seperti kita tahu, konsep ketahanan pangan selama ini dianut oleh para pendukung neoliberalisme dan developmentalism seperti organisasi FAO (Food and Agriculture Organization), IFAD (International Fund for Agricultural Development), WFP (World Food Program), WTO, Bank Dunia dan IMF. Maka tidak aneh jika kesepakatan perdagangan internasional terkait komoditas pertanian (The Agreement on Agriculture) yang dikomandani oleh WTO, begitu pekat mewarnai rumusan kebijakan sektor pertanian dengan titik tekan penurunan dukungan peran negara atas sektor ini.
Sejak menjadi pasien IMF (1998), sektor pertanian dan pasar pangan di Indonesia nampaknya selalu didera gelombang besar liberalisasi. Lewat Letter of Intent (LoI), Indonesia harus meliberalisasi sektor pertanian-pangan. Akibatnya mudah diterka, impor komoditas pertanian dan pangan belakangan trend-nya terus meningkat. Tahun 2008 Indonesia tercatat sebagai negara importir pangan terbesar kedua di dunia setelah Mesir, dengan penggunaan areal lahan untuk pertanian-pangan hanya berkisar 359m2 per kapita. Naga-naganya semua ini tak terlepas dari pendulum kebijakan negara yang mengarah pada orientasi impor daripada ‘ekonomi-produksi’, yang tak hanya melibatkan para politisi, namun juga aparat pemerintah di lapangan serta segelintir pengusaha. Tujuannya sudah tentu berburu rente dan bagi-bagi keuntungan.
Bermaksud mengatasi hal itu, Presiden Jokowi mencanangkan program swasembada pangan. Tak tanggung-tanggung Presiden Jokowi berjanji, Indonesia harus berswasembada pangan dalam tiga tahun. Namun nampaknya tak semudah membalik telapak tangan. Belum juga mengering ucapan menolak importasi beras, Presiden Jokowi akhirnya ‘menyerah’ pada desakan impor. Keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, jelas mengisyaratkan terbukanya kembali kran impor beras. Selain itu, roadmap menuju swasembada pangan hingga hari ini belum nampak terumuskan secara komprehensif.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar patut mendapat perhatian serius sebagai pembelajaran bersama. Apa pasal? Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah karakteristik masyarakat petani subsisten. Menariknya, meskipun petani subsisten, ternyata mereka selalu terhindar dari gagal panen sejak didirikan Kasepuhan Ciptagelar pada tahun 1368. Ini karena mereka memilih menanam varietas benih padi lokal miliknya sendiri yang notabene lebih bagus kualitasnya dibandingkan benih padi produk pabrikan versi revolusi hijau. Menurut Abah Ugi selaku pemimpin adatnya, mereka setidaknya masih memiliki 120-an lebih varietas benih padi lokal/asli dan 180-an varietas hasil silangannya. Bahkan jenis varietas padi kuning, yang sementara bagi masyarakat umum lazimnya dimaknai sebagai “bulir padi putih dikasih kunir” sebagai piranti sesaji atau benda simbolik, konon masyarakat Kasepuhan Ciptagelar hingga hari ini masih menyimpannya dengan baik.
Keistimewaan masyarakat adat Ciptagelar adalah adanya ketahanan dan kemandirian pangan yang kuat karena didukung oleh sistem logistik yang kuat. Sementara berbicara mengenai kemandirian pangan jelas tak bisa dilepaskan dari orientasi ‘non-profit’ dalam sistem produksinya. Beras bukanlah komoditas yang diperjualbelikan. Bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, terkait pemuliaan Dewi Sri, beras didudukkan sebagai entitas sakral dan bukan benda profan.
Sementara bila kita meninjau seluruh rumah di Kasepuhan Ciptagelar, hampir seluruhnya bisa dipastikan memiliki leuit atau lumbung. Leuit adalah sistem logistik mereka. Tiap petani setidaknya memiliki cadangan padi minimal dua atau tiga tahun ke depan. Surplus dari hasil produksi selalu disimpan dalam leuit Si-Jimat, yang merupakan lumbung komunal dan telah berlangsung selama ratusan tahun. Selain sistem logistik, leuit juga berfungsi laiknya koperasi. Jika ada kebutuhan mendesak, warga dapat menggunakan padi yang ada dalam leuit Si-Jimat. Istilahnya “meminjam padi”, yang nanti dikembalikan setelah panen sesuai jumlah pinjamnya. Menurut Abah Ugi, stok pangan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar secara kolektif kini bahkan mampu bertahan hingga 20 tahun ke depan.
Menilik praktik dan tradisi pertanian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, di sini kita tak hanya melihat terpenuhinya konsepsi kedaulatan pangan, melainkan lebih jauh nampak bagaimana bangunan konseptual itu sejatinya telah berdiri demikian kukuh sejak ratusan tahun lalu. Selain itu, kita juga menyaksikan bagaimana bangunan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan berbagai ketrampilan budidaya pertanian yang telah terbentuk ratusan tahun silam, kini masih terpelihara dan terwariskan melalui bagan konservasi adat-istiadat dan budaya Sunda Wiwitan.
Apa yang dipegang teguh oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam menciptakan kemandirian pangan pada tingkat desa sesuai dengan rumusan organisasi gerakan tani internasional – La Via Campesina. Masyarakat Kasephan Ciptagelar menjaga sistem pertanian mereka mulai dari penguasaan benih padi varietas lokal, ketersediaan tanah, pupuk dan pemeliharaan sistem pengairan dengan tata kelola adat yang dijaga dari nilai-nilai luar yang tidak sesuai. Keteguhan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menghindarkan mereka dari efek kerusakan revolusi hijau pada zaman orde baru.
Dengan elaborasi dan rasionalisasi di sana-sini, sebenarnya Presiden Jokowi dapat merumuskan sebuah roadmap swasembada pangan secara nasional, tentunya dengan skema swasembada pangan masyarakat pada tingkat desa sebagai unit terkecil penopangnya. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah miniatur kedaulatan pangan yang seharusnya diduplikasi menjadi kebijakan kedaulatan pangan nasional.