logo boleh merokok putih 2

Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing

Kisah lisan atau cerita legenda hingga kini terus dituturkan secara turun-temurun melalui pitutur dan tetap dilestarikan di desa-desa di penjuru Nusantara. Sepenggal kisah lisan di suatu daerah bahkan memuat berbagai macam versi namun tetap dipercayai karena mengandung nilai-nilai kebaikan bagi kehidupan warga yang meyakininya.

Sama seperti halnya kisah lisan tentang Ki Ageng Makukuhan, yang dipercayai oleh warga lereng gunung Sumbing sebagai penyebar agama Islam pertama di Desa Kedu, Temanggung. Ki Ageng Makukuhan merupakan anggota santri sanga dan dipercaya oleh banyak orang sebagai penerus Wali Sanga. Asal usulnya penuh misteri. Ada yang bilang beliau keturunan Cina, yang lain bilang dari Arab, dan lainnya lagi bilang beliau keturunan Jawa. Ada yang bilang jasadnya dimakamkan di Desa Kedu, Temanggung. Ada lagi yang menyakini dimakamkan di Plabengan, Dusun Cepit, Desa Pagergunung, Kecamatan Bulu, Temanggung.

Namun dari manapun asal usul Ki Ageng Makukuhan, warga lereng gunung Sumbing hingga kini tetap menyimpan keyakinan dalam kalbunya. Keyakinan yang kemudian berkembang di tengah masyarakat menjadi tradisi. Tradisi warisan leluhur warga Dusun di lereng Sumbing yang terus dilestarikan. Dan tradisi itu tidak ada yang berani melanggarnya hingga saat ini, seperti tradisi Ritual Among Tebal di Dusun Lamuklegok, Desa Legoksari, dan Dusun Dukuh, Desa Wonosari, serta Rejeban Plabengan di Dusun Cepit, Desa Pagergunung, Temanggung.

Baca: Dari Tambaku, Mbako hingga Tembakau

Tradisi Among Tebal adalah doa bersama sebelum tanam perdana tembakau. Dalam melakukan tradisi ini ratusan warga berkumpul di tanah lapang membawa uba rampe seperti tumpeng, ingkung ayam, dan beberapa nampan berisi buah-buahan dan jajan pasar. Semua ubarampe itu didoakan kemudian dilakukan kembul bujana atau makan bersama. Sambil menonton pentas kesenian tradisional dusun setempat. Tradisi Among Tebal tujuannya untuk meminta dimurahkan rejeki dan keberkahan bagi setiap warga.

Sedangkan tradisi Rejeban Plabengan merupakan tradisi syukuran semua warga Dusun Cepit, Desa Pagergunung, yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Rajab/Rejeb tiap hari jumat. Tradisi Rejeban Plabengan diawali dengan prosesi pengambilan air suci pada hari kamis di sumber mata air yang letaknya di lereng Sumbing. Kemudian malam harinya seluruh warga membawa obor menuju Plabengan, mengadakan tahlilan dan membaca salawat di makam Ki Ageng Makukuhan. Pada hari jumat pagi, ratusan warga memikul tenong berisi ayam ingkung, lauk pauk, dan pisang, mengiringi tumpeng berukuran besar. Mereka berjalan beriringan dipimpin Mbah Kaum dan Mbah Suyono sang kuncen Plabengan. Semua makanan di dalam tenong itu didoakan, lalu dimakan bersama sambil menonton kesenian tradisi setempat yakni jaran kepang. Tujuan Rejeban Plabengan adalah sebagai ungkapan rasa syukur dan memohon dimurahkan rejeki, perlindungan dan keberkahan bagi semua warga. Usai Rejeban Plabengan biasanya dimulainya masa tanam perdana tembakau.

Kisah Lisan Ki Ageng Makukuhan

Ki Ageng Makukuhan merupakan murid Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Lazimnya seorang murid yang sudah khatam menimba ilmu, Ki Ageng Makukuhan lantas mengembara, menolong orang, menyembuhkan orang yang sakit lumpuh, menyamar menjadi seorang petani guna melakukan syiar agama islam. Beliau oleh Sunan Kudus dibekali benih tanaman yang dia sendiri tidak tahu namanya. Pesan Sunan Kudus jelas; tanamlah benih ini di tanah yang menurut hatimu tepat untuk ditanami. Sepanjang pengembaraannya, Ki Ageng Makukuhan telah mengangkat beberapa murid atau santri yang ikut bersamanya.

Sesampainya di Desa Kemloko, yang letaknya berdekatan dengan Desa Legoksari di lereng Sumbing, benih itu ditebarkan lalu tumbuhlah tanaman yang subur berdaun lebar menghijau. Namun hingga tanaman itu tumbuh subur, Ki Ageng Makukuhan sendiri masih tidak tahu apa nama tanaman tersebut. Hingga suatu hari, Ki Ageng Makukuhan didatangi seseorang yang sedang merasa tidak enak badan, sakit. Secara naluriah Ki Ageng Makukuhan memetik daun yang ditanamnya, lalu dikibas-kibaskannya daun itu sambil bergumam; Iki tambaku, ini obat dariku. Ajaib! Beberapa saat kemudian orang yang sakit itu sembuh, sehat seperti sedia kala.

Gumaman Ki Ageng Makukuhan didengar oleh beberapa santrinya, lantas berita kesembuhan dari daun itu menyebar ke seantero lereng Sumbing dan sekitarnya. Secara lisan dari mulut ke mulut kata Tambaku menyebar menjadi kata Tembaku. Semakin banyak mulut yang mengabarkan dan semakin banyak pula telinga yang mendengarkan, kata Tembaku, berubah dengan sendirinya menjadi Tembakau.

Kisah lisan di atas begitu diyakini oleh warga Dusun Lamuklegok, Desa Legoksari, Temanggung. Karena kisah lisan itu telah dituturkan secara turun temurun dari generasi ke generasi oleh para orang-orang tua sejak dulu. Dusun Lamuklegok, merupakan penghasil tembakau srinthil kualitas baik. Kisah lisan warga Desa Legoksari itu kini bertebaran di laman-laman dunia maya, dan tentu saja bertabrakan dengan sumber sejarah yang bertebaran pula di dunia maya; catatan-catatan sejarah itu mengatakan tembakau pertama kali masuk ke Nusantara pada awal abad ke-17. Sumber sejarah itu ada yang mengatakan bangsa Portugislah yang membawa benih tembakau pertama kalinya ke Indonesia, ada lagi yang bilang bangsa Belanda, dan Spanyol. Nama tembakau di Indonesia memang kata serapan dari “Tabaco” yang berasal dari bahasa Spanyol. Tetapi tembakau tentu saja bukan berasal dari bangsa Spanyol.  

Kuncen Plabengan

Hari itu, jumat (22/3) sore, saya diantar seorang warga menuju ke rumah kuncen Plabengan, Mbah Suyono, di Dusun Cepit, Desa Pagergunung. Keberadaan saya di Dusun Cepit, Desa Pagergunung dalam rangka memotret ritual Rejeban Plabengan. Saya datang bersama Giri Wijayanto, Fahmi Mamok Widayat, dan beberapa teman fotografer dari Jogja.


Mbah Suyono, penggemar garis keras kretek 76 | Foto: Eko Susanto

Pagi usai meliput ritual Rejeban Plabengan, saya kelelahan dan tertidur menjelang salat jumat, dan terbangun pukul 15.00 wib di rumah seorang petani tembakau bernama Mujiono. Kedua teman saya, Giri dan Mamok sudah tiada. Mungkin mereka ngopi di warung Mukidi. Karena tadi pagi sempat rerasan ingin minum kopi di sana sore hari.

Saat saya tiba di rumah Mbah Suyono, dia tengah duduk sendirian di ruang tamu. Mengenakan sarung, berpakaian batik dan berpeci. Wajahnya bersih. Tubuhnya tinggi saat dia berdiri menjabat tangan saya. Lelaki yang menjadi kuncen sejak tahun 1982 itu sekarang berusia 88 tahun.  

“Saya tidak tahu mengapa ditunjuk oleh Wongso Rajiman menjadi kuncen makam Ki Ageng Makukuhan,” kata Suyono mulai bercerita, dalam bahasa jawa. Wongso Rajiman yang disebut Suyono adalah kuncen Plabengan sebelum dirinya.

“Awalnya,” lanjut Mbah Suyono, “Saya hanya diminta oleh Wongso Rajiman untuk membantu dan melayani, jika ada orang dari luar desa yang datang ingin berziarah. Selain di makam Ki Ageng Makukuhan, saya juga diminta membantu melayani orang-orang yang berziarah di makam Ki Ageng Tunggul Wulung, Ki Panidi Kuda Negara, dan Ki Ageng Gadung Melati, yang merupakan santri-santri Ki Ageng Makukuhan.”

Selama nyantrik di Plabengan, Mbah Suyono tidak tahu jika Wongso Rajiman telah menempelkan kesaktian kepadanya. Dia hanya menaati saat diperintahkan untuk berpuasa ngeblong tiga hari tiga malam sampai tujuh hari tujuh malam di makam Plabengan. Dan itu sering dilakukannya, berkali-kali. Sesekali Mbah Suyono ditemui oleh Ki Ageng Makukuhan.

Saat tengah asyik berbincang dengan Mbah Suyono, tiba-tiba Giri dan Mamok datang dan ikut duduk di ruang tamu.

Baca: Kretek dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara

“Dulu,” lanjut Mbah Suyono, “jasad Ki Ageng Makukuhan dimakamkan di Desa Kedu, Temanggung. Tapi para santrinya tidak setuju sehingga makamnya dipindahkan dari Kedu ke Dusun Dukuh, Desa Wonosari. Karena lokasi Dusun Dukuh, Wonosari, berdekatan dengan Plabengan yang letaknya di Dusun Cepit, Pagergunung, makanya setiap selamatan selalu berbarengan yakni pada hari Jumat. Setiap jumat dan tidak berpatokan pada hari pasaran,” kata Mbah Suyono.  

Menurut Mbah Suyono, setelah sekian lama di Dusun Dukuh, Wonosari, makam Ki Ageng Makukuhan dipindahkan ke Plabengan. Sayangnya, Mbah Suyono sudah tidak ingat lagi tahun berapa perpindahan dari satu makam ke makam lainnya. Dan apa yang menjadi penyebab makamnya dipindah ke Plabengan. Yang dia ingat, saat itu dia masih duduk di bangku SD kelas 2 pada jaman pendudukan Jepang. Hebat sekali daya ingatnya.  

“Ritual Rejeban Plabengan,” menurut Mbah Suyono, “pertama kali dilaksanakan sejak perpindahan makam dari Dusun Dukuh, Desa Wonosari ke Plabengan di bulan Rajab/rejeb pada hari jumat.’

“Plabengan,” kata Mbah Suyono, “merupakan tempat untuk bermusyawarah wangsa Makukuhan. Ruang pertemuan bagi wangsa jin, juga pepunden dari Dieng yakni Empu Supa, Kyai Kendil Wesi dari gunung Merapi, dan Ki Ageng Makukuhan.”

“Mereka,” lanjut Mbah Suyono, “bertemu setiap tahun pada hari jumat di bulan Rajab/Rejeb.”

Letak Plabengan berada di ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Plabengan begitu wingit bagi warga Dusun Cepit. Kisah-kisah lisan dan kesaksian warga banyak bertebaran di sudut-sudut dusun hingga didengar banyak warga desa sekitarnya. Kisah-kisah lisan itu saya ketahui setelah saya menjumpai beberapa warga Dusun Cepit usai pulang dari rumah Mbah Suyono.

Selama menjadi kuncen sudah tak terhitung lagi berapa kali Mbah Suyono menyadarkan orang yang kerasukan di gunung, dan mengobati orang sakit. Semua itu dia lakukan hanya memohonkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mbah Suyono merasa dirinya tidak mempunyai ilmu. Sebuah sikap rendah hati dari seorang kuncen yang disegani warganya.

“Pernah suatu hari ada seseorang datang dari Jakarta,” kata Mbah Suyono. “Lelaki dari Jakarta itu datang ke rumah dan bercerita jika dia bermimpi didatangi oleh Ki Ageng Ronggolawe dari Tuban. Dalam mimpinya, Ki Ageng Ronggolawe menganjurkan lelaki itu untuk mendatangi gunung Sumbing dan berziarah di makam Ki Ageng Makukuhan di Plabengan.”

“Jadi,” lanjut Mbah Suyono, “petunjuk itu datang dari mana saja dan diterima siapa saja yang dianggap berjodoh. Warga Dusun Cepit malah jarang yang diberi petunjuk oleh Ki Ageng Makukuhan. Petunjuk hanyalah jalan bagi siapapun yang berjodoh untuk datang ke Plabengan. Hanya sebuah jalan, karena orang yang mendapatkan petunjuk belum tentu permintaannya akan dikabulkan. Artinya, orang yang mendapat petunjuk akan benar-benar berjodoh jika permintaannya dikabulkan.”

Setelah puluhan tahun menjadi kuncen Plabengan sebenarnya Mbah Suyono punya niatan untuk beristirahat, berhenti menjadi kuncen. Mbah Suyono mengaku sudah berkali-kali meminta kepada Ki Ageng Makukuhan namun selalu ditolak. Berkali-kali berarti dia sudah berpuasa ngeblong tiga hari tiga malam atau tujuh hari tujuh malam selama beberapa kali. Tidak setiap kali saat dia ingin bertemu lantas ditemui oleh Ki Ageng Makukuhan. Ini menyangkut waktu agung atau waktu yang baik. Karena di dalam hari ada waktu-waktu yang tepat dan tidak tepat, waktu agung, waktu apes, dan waktu yang dianggap jodoh bagi manusia, mengikuti perhitungan bulan, kelahiran dan semesta.

Saat pertama kali ingin bertemu untuk meminta ijin berhenti menjadi kuncen, Mbah Suyono berpuasa ngeblong terlebih dahulu. Puasa Ngeblong atau Ngebleng selain tidak makan dan minum juga tidak boleh tidur minimal selama 24 jam. Tidak setiap usai puasa ngeblong Mbah Suyono lantas ditemui. Terkadang Ki Ageng Makukuhan hanya menyampaikan amanahnya melalui tubuh orang lain. Pernah suatu hari Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh lelaki bernama Tudi, anak turun Wongso Rajiman. Dia tidak direstui.

Mbah Suyono tak putus asa dan melakukan tirakat lagi dengan niatan yang sama, ingin bertemu dengan Ki Ageng Makukuhan dan memohon ijin untuk berhenti menjadi kuncen. Kali ini Ki Ageng Makukuhan mau menemui Mbah Suyono tapi tetap saja keinginannya di tolak.

“Apakah kamu ingin desamu geger.” Begitu kata Ki Ageng Makukuhan, seperti yang diceritakan Mbah Suyono pada saya.

“Oo, bisa begitu, ya.” Kata Mbah Suyono, hatinya bergetar. Luruh.

Mbah Suyono, depan, turun dari plabengan usai ritual Rejeban Plabengan | Foto: Eko Susanto

Lha, gene ngerti,” kata Ki Ageng Makukuhan. Usai mengucapkan kalimat itu Ki Ageng Makukuhan lenyap. Suyono terpaku dalam hening. Dia berpikir.

Tentu saja Mbah Suyono kurang puas dengan jawaban Ki Ageng Makukuhan. Dirinya sudah cukup tua untuk melanjutkan pengabdiannya sebagai kuncen. Dia juga tidak diberitahu apa alasannya sehingga keinginannya berhenti menjadi kuncen ditolak Ki Ageng Makukuhan.

Beberapa tahun kemudian Mbah Suyono melakukan tirakat lagi; puasa ngeblong. Dirinya menembus ruang dan waktu; mulai petang hari, tengah malam, hingga malam menjelang subuh.

Waktu Titiyoni, Gandayoni, lan Puspatajem,” kata Mbah Suyono, sambil menatap mata saya. Matanya memancarkan keteduhan. Walaupun kornea matanya sudah nampak pudar karena usia tua. Namun tatapan matanya begitu lembut, ciri-ciri orang yang mempunyai jiwa yang tenang.

Kali ini Ki Ageng Makukuhan langsung menemui dirinya menjelang subuh. Dan berkata: “Tungguo sak megaring kembang.

Mbah Suyono kembali diperintahkan untuk menunggu.

Tungguo sak megaring kembang, kuwi cepak limang dino, adoh maring 10 dina,” kata Mbah Suyono kepada saya, saat saya tanyakan apa maksudnya.

Sehari bagi Mbah Suyono sama dengan dia laku atau nglakoni selama setahun. Lima hari (cepak limang dina) berarti lima tahun, hingga 10 tahun. Dia memahami apa yang dikatakan Ki Ageng Makukuhan. Dan hingga saat ini dia tetap sabar menunggu karena belum ada yang bisa menggantikan dirinya. Dia telah tahu bahwa belum ada orang yang berjodoh menggantikan dirinya sebagai kuncen Plabengan.

Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.

Kisah Lisan dari Plabengan

Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.


Pak Buari, kiri, dan warga Dusun Cepit.

Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan.

Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya.

Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan.

“Jangan juga meminta sembarangan, Mas,” kata Pak Buari pada saya.

“Sembarangan bagaimana maksudnya, Pak,” tanya saya dalam jawa.

“Pernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.”

“Memang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,” tanya saya lagi.

“Pemuda itu meminta pusaka di Plabengan.” Jawab Pak Buari.

“Wah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?”

“Wah, ya sudah pasti banyak, Mas,” jawabnya. “Dan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.”

Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit.

“Saya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,” kata Pak Buari.

“Saat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,” kata Pak Buari.

Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.

Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa.  Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan.

Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki  Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia.

Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis