Pada suatu ketika, Sunan Kudus bertitah kepada salah satu santrinya, Ma Kuw Kwan (yang kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Makukuhan yang juga pernah berguru pada Sunan Kalijogo saat masa pelariannya). “Yen kowe arep mirang godhong tambaku sing piguna kanggo wargamu, tutna lakune idig kiye mengko tibane nang ngendi. Kui panggon sing bakal metu tanduran gadhong tambaku sing apik.”[1]
Idig atau rigen (tetek: boso Rembangan) yang dilemparkan Sunan Kudus ternyata jatuh di Lamuk (salah satu dukuh di Desa Legoksari Temanggung), yang membuat sebagian tanah Lamuk ambles menyerupai cekungan (legok). Cekungan inilah kemudian sekarang disebut sebagai Dusun Lamuk Legok. Sesuai petunjuk Kanjeng Sunan Kudus, Ki Ageng Makukuhan mengutus santrinya yang bernama Dewi Sri Manthili untuk menyebar dukut sewu (sebutan untuk bermacam benih tanaman yang salah satu benihnya merupakan benih tembakau).
Sampai hari ini, Desa Legoksari menjadi penghasil tembakau Srinthil yang bernilai jual tinggi. Tembakau Srinthil terbaik di Legoksari diburu oleh pabrikan dengan harga sampai 1 juta per kilo.
Tembakau srinthil tidak dimiliki oleh semua petani, tembakau dengan kualitas terbaik dunia ini hanya dimiliki beberapa petani yang telaten merawat dan mempertahankan kualitas tembakau asli Temanggung.
Tambaku atau mbako atau tembakau menjadi denyut kehidupan warga Legoksari, Temanggung dan sekitarnya, bahkan di sebagian wilayah kabupaten kelahiran saya, Rembang.
Sebelum dikenal dengan nama tembakau, saat era Ki Ageng Makukuhan, tanaman emas hijau ini dinamai “tambaku”. Tambaku (tembakau) ini diucapkan oleh salah seorang masyarakat saat meminta obat kepada Ki Ageng Makukuhan untuk menyebut tanaman tak bernama yang diberikan Ki Ageng. Saat penyakitnya hilang seseorang itu berkata “Iki tambaku” sambil memegang tanaman tak bernama tersebut. Dari situ Ki Ageng menamakan tanaman tak bernama itu dengan nama “tambaku”, yang kemudian disebut tembakau.
Tembakau yang kemudian diolah menjadi kretek, tidak hanya menjadi sandaran hidup para petani, tetapi juga menjadi salah satu sumber terbesar APBN, penyuntik defisit BPJS, bahkan mereka yang senang menggembar-gemborkan gerakan tanpa rokok atau antitembakau, juga numpang bernafas dari emas hijau ini.
Dari sini kita sama-sama harus menggarisbawahi, bahwa tembakau itu adalah obat, obat kemiskinan sampai obat untuk menangkal lunturnya spiritual. Kadang-kadang juga bisa mengobati kesendirian.
Baik buruknya tembakau sengaja dipertahankan pada posisi yang samar. Dalam kesamaran itu seharusnya kita punya kekhawatiran, jangan sampai tembakau yang memiluki nilai historis dalam perjalanan budaya masyarakat hilang perlahan. Kalau sampai itu terjadi, seharusnya kita bersedih!
[1] “Jika kamu ingin menanam tembakau yang berguna untuk masyarakat, ikutilah sampai mana jatuhnya rigen ini. Di tempat itulah tembakau akan subur dengan kualitas bagus.”