Upaya mengejar cinta selalu menghadirkan satu masalah yaitu patah hati. Jika bicara soal peluang bakal menghadapi masalah tersebut, maka persentasinya adalah 50:50. Potensinya sudah bisa membesar sejak awal anda mencoba untuk berkenalan dengan sosok idaman. Jika salah langkah, sudah pasti si dia bakal menjauh, andai pun langkah awal sudah tepat tapi threatmennya pendekatannya salah, siap-siap kalimat ‘maaf kita ga cocok’ akan anda dapatkan.
Kalau sudah patah hati rasanya memang ribet. Rendang yang katanya dijadikan makanan terenak di dunia pun rasanya seperti daging gosong. Mau beraktifitas juga susah, karena isinya hanya meratap dan merenungi. Diajak teman main game juga tak maksimal, apalagi kongkow-kongkow sampai subuh. Kalau sudah begini tak boleh buru-buru larut dalam kesedihan, musik bisa jadi obat ampuh untuk menenangkannya.
Musik memang soal selera, ada yang ingin lagu agak ngebeat biar adrenalinennya naik. Ada yang memutar lagi jazz supaya lebih tenang, musik dangdut biar oaoe, hingga lagu indie biar terkesan indies (ealaahhh). Akan tetapi ada satu tren belakangan ini, patah hati dan mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Didi Kempot.
Sosok yang memulai karier berseni sebagai musisi jalanan tersebut kini lagi digandrungi anak muda. Mereka menyebutnya sebagai Sadbois atau Sadgirls, mengagung-mengagungkan patah hati, merayakan kesedihan, dan Didi Kempot yang secara lelucon mereka sebut Lord, hadir memaksimalkan euforia tersebut. Satu lagu, dua lagu, tiga lagu, kalimat seperti ‘Bajingan kowe dek!’ mulai terlontar dari mulut-mulut penikmat lagu-lagu Didi Kempot.
Saya dan mungkin juga kalian sejatinya sudah cukup lama mendengar lagu-lagu Didi Kempot, mungkin sejak SD. Saat umur belum dua angka seperti saat ini, Didi Kempot mungkin hanya saya sebut sebagai musisi yang beraliran Campursari (meski memang benar seperti itu). Namun, ketika umur kian bertambah, Didi Kempot rupanya jauh lebih besar dari itu. Bisa jadi dia adalah representasi dari diksi patah hati itu sendiri.
Lagu Sewu Kutho misalnya, saya anggap sebagai lagu patah hati terhebat yang pernah ia buat. Bagaimana rasa rindu, sakit, dan keikhlasan menyatu menjadi satu dalam sebuah lagu. Bahkan doa juga ia sematkan kepada orang yang disayang, agar hidup dia yang dicinta hidup lebih bahagia daripada dirinya. Meski sebenarnya dalam lagu tersebut ada pertentangan lain dalam dirinya yang masih tak bisa ia atasi, ia masih ingin bertemu dengan yang dicinta dengan cara apapun.
Pamer Bojo adalah selanjutnya, ia hadir tepat di saat anak muda sedang mengalami tren nikah dini. Saat usia muda memang perasaan dan cinta sedang berkecamuknya, lalu dihadapkan dengan permasalahan yang cukup pelik dalam asmara yaitu ditinggal nikah. Lagu Pamer Bojo adalah solusinya, meski dalam liriknya ada pesan bahwa kita memang tidak pernah siap melihat yang dicinta menikah dengan orang lain.
“Neng opo seneng aku yen mung gawe laraku
Pamer bojo anyar neng ngarepku”
Bagi saya musik memiliki kekuatan hebat walau memiliki tembok bernama bahasa. Hanya musisi hebat yang mampu menembus dinding-dinding itu. Didi Kempot adalah salah satunya, ia mampu membuat orang yang bukan bersuku Jawa bisa menikmati lagunya. Ini sebuah kemajuan dalam berkebudayaan, bahwa suku dan bangsa lain bisa saling menerima karya dari golongan lain. Sesuatu yang saat kini benar-benar kita butuhkan bukan setelah kontestasi politik yang melibatkan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan.
Didi Kempot memang sedang naik daun dan kini namanya lagi disebut-sebut di banyak penjuru di ibu kota. Ketakutan saya adalah akan seberapa lama tren ini berlanjut, mengingat tak banyak yang bisa bertahan lama di Jakarta. Akan tetapi pikiran tersebut saya rasa salah, Didi Kempot boleh saja naik daun dan tiba-tiba hilang di Jakarta, akan tetapi karya dan dirinya tetap abadi di Indonesia. Karena yang membuat Didi Kempot agung adalah kita yang selalu kekanak-kanakan menghadapi masalah patah hati.