logo boleh merokok putih 2

Lima Pertimbangan Sri Mulyani Penentuan Tarif Cukai Kurang Relevan

lima pertimbangan Sri Mulyani Penentuan Tarif Cukai Kurang Relevan

 

Dalam video conference APBN KiTa edisi November Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap 5 aspek yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam kajian tarif cukai adalah prevalensi merokok pada anak-anak, wanita dan kesehatan, tenaga kerja, petani, rokok ilegal, dan penerimaan negara, diadaptasi dari detikfinance terbit senin 23 November 2020.

Lima indikator pertimbangan di atas, sangat kurang fair dalam kajian tarif cukai, bahkan bisa dikata miskin data. Harusnya sebagai perwakilan pemerintah Menteri Keuangan Sri Mulyani lebih detail dan lebih jeli dalam melakukan kajian tak hanya 5 kajian pertimbangan. Kalau memang hanya 5 kajian dipaksakan, tentu hasil kajiannya sangat merugikan sektor pertembakauan, dan yang diuntungkan kepentingan asing –melalui desakan WHO dan Kementerian Kesehatan.

Tentu apa yang telah dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani memasukkan prevalensi merokok pada anak-anak, wanita dan kesehatan sebagai pertimbangan tarif cukai masih kurang bijak. Kalau dicermati, Sri Mulyani masih terbayangi dan terkungkung dalam lingkaran kerjasamanya dengan WHO. Sehingga dalam mengambil kebijakan terlebih sektor pertembakauan, ia lebih mengedepankan kerjasamanya dengan WHO dari pada melindungi kepentingan masyarakat –kepentingan dalam negeri–.

Sedangkan, stokeholder pertembakauan semua sepakat anak di bawah umur yang telah ditentukan pemerintah dalam Undang-undang tidak boleh merokok, dan tidak boleh merokok di dekat ibu hamil. Jadi sudah tidak relevan lagi aspek prevalensi merokok pada anak-anak, wanita dan kesehatan ini dimasukkan sebagai kajian dalam pertimbangan tarif cukai.

Mestinya, Sri Mulyani lebih dalam kajiannya selain aspek tenaga kerja, petani, rokok ilegal, dan penerimaan negara masih banyak aspek lain yang lebih relevan sebagai indikator kajian tarif cukai. diantaranya; pemberantasan kemiskinan, orientasi pasar domestik, pemerataan dan penyebaran pembangunan daerah dari hasil cukai, CSR, kebudayaan dan kemandirian kedaulatan ekonomi bangsa.

Dari hulu hingga hilir sektor pertembakauan banyak menciptakan lapangan kerja. Dari kerja tentu ada hasil untuk memenuhi kebutuhan pokok. Inililah siklus pengentasan kemiskinan. Petani tembakau ataupun petani cengkeh sangat membutuhkan orang lain baik mulai dari menanam, merawat hingga panen. Pelibatan orang lain dalam pertanian tembakau ataupun cengkeh tidak cukup hanya satu orang, akan tetapi banyak orang terlebih saat panen tiba.

Misal pertanian tembakau, yang paling banyak kontribusi banyak orang itu saat panen tiba, kalau saat tanam dan merawat kebutuhan orang hanya sekitar kurang dari 10 orang. Beda saat panen tiba, keterlebitan orang lain bisa mencapai puluhan orang. Mulai dari memetik daun, membawa daun kerumah, merajang daun, merawat rajangan daun, mejual daun rajangan ke gudang. Dan semua yang terlibat, mendapatkan upah. Begitu juga dalam pertanian cengkeh.

Menariknya, saat panen –baik di pertanian tembakau maupun cengkeh—banyak orang/ masyarakat lain yang memang menggantungkan ekonominya dari hasil kerja. Ada yag menjadi buruh tani, ada yang penjual jasa angkut, ada yang menjual barang yang dibutuhkan saat panen seperti keranjang, uniknya ada yang menjual khusus makanan untuk para pekerja. Karena saat panen tiba, mayoritas para petani atau buruh disibukkan pekerjaan, yang akhirnya semua kebutuhan harus beli –instan–.

Kalau kita telisik, dari sekian banyak industri pertanian di Indonesia, sebagian besar pemenuhan kebutuhan ekpor. Seperti kelapa sawit, kakao, karet yang diekspor bentuk bahan mentah. Beda di industri kretek, komoditi yang dibutuhkan hampir keseluruhan berasal dari dalam negeri. Tembakau dan cengkeh sebagian besar di tanam di bumi pertiwi, pengolahannya oleh anak pertiwi dan konsumen terbesarnya oleh saudara sendiri. Disinilah, alasan kuat industri kretek lebih tahan dari krisis yang melanda dari dulu hingga sekarang pengaruh dari krisi global.

Terjadinya integrasi industri kretek dari hulu hingga hilir di daerah pinggiran dan kota-kota kecil di Indonesia. Komoditi cengkeh yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, 96% dibutuhkan bahan dasar industri kretek. Tembakau di 15 provinsi hingga saat ini 100% sebagai bahan dasar industri kretek. Ada 6 provinsi terdapat industri pengolahan kretek. Dari sebaran tersebut mempunyai dampak dan efek luas bagi perekonomian bangsa Indonesia.

Sebab, jika di lihat hampir seluruh kawasan wilayah nusantara ini terdapat salah satu komoditi dan industri kretek. Sehingga, tidak ada industri lain di bumi pertiwi ini yang mampu dan sanggup menandingi peran industri kretek dalam penyebaran distribusi pendapatan rakyat dan pembangaunan daerah yang hampir menyeluruh dan merata di wilayah nusantara melalui dana bagi hasil cukai hasil tembakau –DBHCHT–.

Lain itu, masyarakat mendapatkan dana sosial langsung dari perusahan kretek melalui corporate social responsibility (CSR). Dana CSR ini berkontribusi besar dalam pembangunan bangsa, baik fisik maunpun non fisik. Non fisik seperti halnya beasiswa dan pelatihan, bhakti olah raga, sedangkan fisik ada bhakti lingkungan penanaman pohon, dan masih banyak modelnya dengan menggunakan dana CSR perusahan kretek. Baiknya, walaupun CSR kretek kebanyakan tidak memakai nama brand industri.

Munculnya kretek menjadi sumbangsih kekayaan budaya nusantara. Kretek menjadi ciri khas dan identitas bangsa. Di negara lain industri kretek hampir tidak ada. Karena memang kretek diciptakan anak bangsa, dari bahan pertanian bumi pertiwi, diolah oleh anak bangsa sendiri. Kretek tumbuh dan berkembang di negeri sendiri.

Kretek sebagai identitas budaya bangsa melingkupi semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia.  Dari budaya menjadi penopang ekonomi masyarakat, penopang pembangunan dan kesehatan bangsa melalui alokasi cukai, bahkan berkontribusi terhadap prestasi salah satu cabang olahraga yang mengharumkan nama bangsa. Lain itu dari budaya berkontribusi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui beasiswa.

Keberadaan kretek, perwujudan kemandirian dan kedaulatan bangsa sesuai dengan para pencetus sistem ekonomi yang sesuai bangsa Indonesia. Ir Soekarna dengan sistem ekonomi berdikari, Mohammad Hatta dengan demokrasi ekonomi, Sutan Sjahrir dengan sistem ekonomi sosialisme kerakyatan hingga Mubyarto dengan sistem ekonomi pancasila.

Kesemuanya sistem ekonomi di atas, mempunyai kesimpulan bahwa perekonomian negara disusun atas dasar karakteristik ke-khas-an yang tertumpu pada konsep kerakyatan dengan berorientasi memberdayakan kekuatan ekonomi rakyat. Langkah strategis mencapai kemandirian dan kedaulatan ekonomi tertumpu pada pemenuhan kebutuhan pokok rakyat untuk pemberantasan kemiskinan, orientasi pasar domestik, pemerataan pembangunan, pengembangan sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Sampai detik ini, hanya industri kreteklah satu-satunyakegiatan ekonomi yang mengakomodir langkah-langkah strategis untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia.

Mestinya, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan mengerti tentang hal ini, dan masuk menjadi indikator pertimbangan dalam menentukan kebijakan cukai. Bukan malah intervensi asing yang digunakan sebagai pertimbangan. Justru yang paling relevan sebagai pertimbangan tidak lain adalah pemberantasan kemiskinan, orientasi pasar domestik, pemerataan dan penyebaran pembangunan daerah dari hasil cukai, kebudayaan dan kemandirian kedaulatan ekonomi bangsa.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).