Seperti judulnya, itu yang ada ada di pikiran saya ketika membaca berita tentang Seruan Gubernur DKI, Anies Baswedan, mengenai larangan menyediakan asbak di gedung-gedung perkantoran.
Saya kutip dari suarajakarta.id “Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan larang ada asbak rokok di gedung perkantoran”. Hal ini tertuang dalam Seruan Gubernur (Sergub) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok.”
Dalam seruan yang diterbitkan sejak 9 Juni lalu, disampaikan tiga poin, di antaranya:
- Memasang tanda larangan merokok pada setiap pintu masuk dan lokasi yang mudah diketahui oleh setiap orang di area gedung serta memastikan tidak ada yang merokok di kawasan dilarang merokok;
- Tidak menyediakan asbak dan tempat pembuangan puntung rokok lainnya pada kawasan dilarang merokok;
- Tidak memasang reklame rokok atau zat adiktif baik di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor), termasuk memasang kemasan/bungkus rokok atau zat adiktif di tempat penjualan.
Sulit menyingkirkan logika jika tidak ada kepentingan sekelompok orang dalam Sergub tersebut. Apalagi Anies Baswedan adalah bagian dari orang-orang yang ikut berkampanye di Hari Tanpa Tembakau pada 31 Mei yang lalu. Lagi pula, kalau soal Jakarta dan rokok, itu bukan hal baru.
Bulan Mei 2009 pernah dicanangkan program Smoke Free Jakarta (SFJ), yang merupakan kemitraan Swisscontact Indonesia dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Disebutkan di Berita Pers SFJ, 26 Oktober 2009, bahwa SFJ bertujuan melindungi Jakarta dari bahaya asap rokok; dengan cara memperkuat kapasitas penyelenggaraan Kawasan Dilarang Merokok (KDM). Disebutkan juga bahwa SFJ akan mendorong penerapan 100 % Kawasan Dilarang Merokok; intinya, tidak akan ada lagi ruang khusus merokok di dalam sebuah ruangan.
6 Mei 2010 ditetapkan Pergub DKI Jakarta No. 88/ 2010 yang merevisi peraturan sebelumnya, yaitu Pergub DKI Jakarta No. 75/ 2005. Perbedaan mendasar kedua peraturan itu ada pada soal ruang khusus merokok. Pergub DKI Jakarta No. 75/ 2005 mengatur keberadaan ruang khusus merokok di gedung, sementara Pergub DKI Jakarta No. 88/ 2010 menghapusnya sama sekali.
Pergub DKI Jakarta No. 88 Tahun 2010 lahir dari kajian yang dilakukan oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta yang menggandeng Swisscontact Indonesia sebagai mitra. Melalui SFJ, Swisscontact Indonesia juga diberi keistimewaan untuk melakukan pengawasan dan menerima pengaduan.
Kalau melihat dari “sejarah” Jakarta dengan peraturan kawasan tanpa rokok, wajar kalau saya punya pikiran bahwa program “selipan” Sergub ini salah satu agenda yang tertunda dan harus dilakukan di tengah-tengah kasus Covid-19 Jakarta yang mulai membuat Anies Baswedan panik. Tapi bukannya fokus soal penanganan Covid-19, malah bikin Sergub yang tidak perlu juga. Toh, sudah ada Undang-Undang (UU) Kesehatan nomor 36 tahun 2009, dan di dalam pasal 115 ayat 1 menyebutkan, khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok. Apa masih kurang dan masih perlu dikekang lagi?
Semoga Jakarta selalu sehat dan bahagia seperti di Jogja. Walaupun mungkin agak sulit, ya?