logo boleh merokok putih 2

Baliho Rokok Lebih Baik Ketimbang Baliho Politik yang Nyampah

baliho politik

Sampah-sampah visual itu bernama baliho-baliho politik yang dicetak besar dan dipasang di tiap titik di perkotaan, menggunakan uang pajak, lalu bergambarkan muka-muka politisi busuk. Sampah itu ada di mana-mana, dan makin menjamur di kala tahun politik akan segera tiba.

Baliho-baliho politik tersebut bukan hanya ada di satu kota saja, namun hampir menyeluruh di penjuru Indonesia. Entah, tim ninja macam apa yang dipersiapkan, rasanya hanya waktu singkat saja baliho-baliho itu sudah ada. Jauh lebih banyak dari iklan komersial, sungguh jauh lebih banyak.

Ada berbagai macam kritikan atas baliho-baliho tersebut. Disebut-sebut oleh banyak masyarakat bahwa kebijakan memasang baliho itu tak memiliki kepekaan terhadap Indonesia yang tengah dilanda pandemi. Ada pula yang menyatakan politisi udah kebelet pengen jadi pemimpin.

Intinya bahwa fenomena di atas tak lepas dari kritik yang bertubi-tubi. Saya pribadi melihatnya justru sebagai sebuah hal yang ironi. Di balik okupasi berlebih akan kampanye politik penuh syahwat kekuasaan, ada ketidakadilan yang terjadi. Biar mari saya jelaskan. Satu-satu biar gamblang.

Pertama, saya memahami bahwa reklame-reklame besar itu dimiliki oleh sektor privat. Jadi jika anda mau memasang sesuatu di sana maka cukup hubungi pemiliknya, anda daftarkan, mengeluarkan uang, serta ikuti prosedurnya, dan jangan lupa untuk membayar pajak. Intinya adalah butuh uang yang besar dan taati prosedurnya.

Jika demikian yang terjadi maka siapa saja bisa memasang baliho besar. Akan tetapi kehidupan tak berjalan semulus itu kawan. Ada beberapa golongan tertentu yang memiliki akses terbatas untuk memasang iklan di reklame. Sudah pasti dan anda tahu semua yaitu adalah iklan-iklan rokok.

Pabrikan rokok itu tentu taat aturan, sama seperti politisi, mereka mau mengeluarkan uang, mereka mau membayar pajak, mereka juga mengikuti prosedur yang diajukan. Akan tetapi sayangnya seringkali hal tersebut membuat mereka harus bertepuk sebelah tangan. Mengapa?

Peraturan kawasan tanpa rokok acapkali melarang adanya iklan-iklan rokok yang dipasang di reklame-reklame besar. Alasannya seringkali juga klise. Padahal kalau mau sama-sama fair, politisi yang menampilkan dirinya secara narsistik itu juga punya dampak buruk buat publik.

Seorang pemimpin akan dipilih berdasarkan kinerjanya dan usaha kerasnya dalam memajukan masyarakat. Jika hanya dikenal dari banner-banner saja lalu masyarakat terhegemoni atas dasar itu, mereka tentu akan tetap pilih politisi tersebut, tapi bukankah rasanya seperti membeli kucing dalam karung? Memilih sesuatu berdasarkan kenal karena kampanye di reklame, sebaliknya kualitasnya belum tentu bisa teruji. 

Sebaliknya, iklan rokok yang selama ini terus dibatasi oleh pemerintah justru secara kualitas dan rasa malah sudah dikenali oleh para perokok. Memasang iklan rokok pun tak jadi masalah dalam bentuk apa saja, toh rasa dan kualitasnya sudah dikenali.

Lagian, iklan rokok juga tak akan sebanyak baliho ‘kepak sayap kebhinekaan’ itu. Tidak akan jadi sampah visual juga dan mengapa harus dilarang. Industri hasil tembakau juga taat bayar pajak kok dan memberi kontribusi besar pada negara. Sebaliknya, politisi? Saya tak yakin mereka melakukannya dengan upaya berlebih di luar musim kampanye.

Apalagi, mohon maaf kalau desain baliho-baliho politik itu cenderung jelek dan tak berseni. Hanya mengandalkan foto politisi berukuran besar, dengan kalimat ajakan yang menjemukan, kadang fontnya jelek, crop fotonya tidak halus, warna backgroundnya nabrak. Jelek lah pokoknya!

Sebaliknya, iklan rokok justru mampu memancing perhatian masyarakat karena desainnya yang menarik dan materi kampanye yang unik. Sering mengundang gelak tawa dan memancing senyum masyarakat yang tengah menunggu lampu hijau di perempatan. Pokoknya jauh lebih menghibur ketimbang baliho politisi itu!

Ketika kampanye politik justru menampilkan baliho-baliho besar bergambarkan politisi yang tak kita kenal dan dekat dengan kehidupan kita, sebaliknya rokok yang justru memiliki kebermanfaatan yang luas malah tak boleh sama sekali ditampilkan. Adilkah begitu? 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Indi Hikami

Indi Hikami

Seorang lelaki yang tak pernah merasa kesepian