sri mulyani cukai rokok
OPINI

Sri Mulyani Berharap Setoran Cukai Rokok Naik Tapi Buta Terhadap Peredaran Rokok Ilegal. Apakah Mungkin?

Penerimaan cukai rokok mengalami penurunan pada semester I tahun anggaran 2023. Kalau menurut istilah dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pendapatan dari cukai rokok mengalami pertumbuhan negatif. 

Data Kementerian Keuangan mencatat penerimaan hasil cukai rokok pada Mei 2023 anjlok sebesar 12,45% secara tahunan menjadi Rp 89,95 triliun. Angka tersebut baru mencapai 38,67 persen dari target APBN Tahun Anggaran 2023

Pertumbuhan negatif ini baru terjadi sekarang dalam 5 tahun terakhir. Ibarat pohon tidak makin tinggi dan besar melainkan kian kerdil dan kurus. Dalam pertanian, kondisi ini akan diidentifikasi oleh petani bahwa tanaman mereka terserang hama. 

Industri Rokok Sumber Pendapatan Negara

Signal tentang kondisi ini sebenarnya sudah ditunjukkan oleh stakeholder di pertembakauan akhir tahun lalu dengan menolak rencana kenaikan tarif cukai pada 2023. 

Kebijakan kenaikan cukai yang terjadi setiap tahun telah menempatkan industri rokok tanah air berada di ujung jurang kematian. Target penerimaan negara yang ditetapkan telah melebihi kemampuan industri rokok untuk menopangnya. 

Namun, keluhan dari berbagai pihak sama sekali tidak digubris oleh Sri Mulyani  Sebagai Menteri Keuangan, dia melihat bahwa instrumen kenaikan cukai rokok adalah cara instan untuk mendapatkan pendapatan yang telah teruji dari tahun ke tahun, bahkan sejak zaman kolonial. 

Sebagai informasi, asal mula pungutan cukai rokok bermula dari Belanda, tepatnya ketika krisis ekonomi 1930 melanda dunia. Belanda mengamati bila rokok adalah barang dagangan yang meskipun krisis tetap laku meskipun secara bahan baku penurunan kualitas. Industri ini bahkan lebih cepat pulih. Bahan baku dan konsumen lokal dari rokok membuat industri rokok tidak dipengaruhi keadaan ekonomi global. 

Melihat ini maka pemerintah kolonial menargetkan pungutan atas rokok sebagai sumber cuan, menggantikan pendapatan dari ekspor bahan mentah yang mandek. 

Cara pandang seperti ini pula yang membuat Sri Mulyani tetap berani menaikkan tarif cukai meski sebelumnya ekonomi nasional telah terkena krisis akibat pandemi covid. Dorongan untuk membatasi rokok yang disuarakan oleh lembaga-lembaga kesehatan pun penguat argumentasi untuk menaikkan tarif cukai rokok. 

Tidak tanggung-tanggung, dengan gesit Sri Mulyani pada akhir tahun lalu pun menetapkan kenaikan cukai rokok untuk 2 tahun berturut-turut. Yakni sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Keputusan ini berlaku pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT) dengan tarif berbeda sesuai dengan golongannya.

Penetapan ini mengejutkan karena diberlakukan di luar kebiasaan, yakni 2 tahun berturut-turut. 

Namun, kebijakan Sri Mulyani ini menghindari perdebatan alot kenaikan cukai di tahun politik. Langkah menaikkan cukai menjadi tidak populer bagi parpol yang berkuasa. Apalagi dalam jargon-jargonnya selalu mengatakan sebagai perwakilan wong cilik. 

Sedangkan industri rokok adalah industri padat karya di Indonesia dan menyerap tenaga kerja yang besar, dari hulu hingga hilir. Di hulu terdapat petani tembakau dan keluarganya, petani cengkeh dan keluarganya yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, dan pekerja pabrik yang otomatis terkena dampak dari kenaikan cukai rokok. 

Tapi peduli setan dengan partai karena Sri Mulyani hanya melihat rokok sebagai target pendapatan negara. Orang-orang yang bekerja mengupayakan tembakau tidak diperhitungkan bagi Sri Mulyani. 

Padahal kenaikan cukai sangat erat terhadap nasib petani. Bila pemerintah meminta setoran sangat tinggi, bahkan mencapai 78% dari harga jual rokok, maka pabrikan harus ekstra keras agar bisa bertahan. 

Artinya hanya 22% dari harga jual yang mengalir ke pabrik. Prosentase itu mencakup biaya bahan baku, penyimpanan, tenaga kerja, kemasan, distribusi, iklan, serta laba dari perusahaan.

Harga Mahal, Produksi Rokok Menurun, Apakah Lantas Jumlah Perokok Berkurang?

sri mulyani bunuh rokok

Data terakhir tahun 2022, dalam 10 tahun terakhir kenaikan tarif cukai rokok terjadi secara signifikan di semua golongan. Kenaikan harga rokok jenis SKM dan SPM golongan 1 mengalami perubahan harga hingga 168%. Sedangkan golongan 2 mengalami perubahan hingga 247%

Kenaikan tarif cukai serta komponen pajak lainnya secara perlahan tapi pasti telah menempatkan pabrik-pabrik rokok seperti ‘BUMN’ saja. Menariknya, di sini pemerintah tidak ikut menanggung risiko kerugian, tanpa penyertaan modal pulsa. Hanya menerima pendapatan yang besarannya mencapai 68% s.d. 78% dari harga jual rokok, tergantung golongannya. 

Atas kebijakan tentang cukai ini konsekuensinya harga rokok menjadi terlalu tinggi dan tidak berimbang dengan upaya pemerintah dalam menaikkan tingkat pendapatan masyarakatnya. Yang terjadi konsumen tidak sanggup lagi membeli rokok legal karena harganya terlampau mahal. 

Data kementerian keuangan menunjukkan bahwa penurunan produksi rokok benar terjadi. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari kampanye pembatasan rokok yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesehatan dunia. 

Tetapi, di Indonesia turunnya produksi rokok tidak serta merta menunjukkan bahwa banyak orang berhenti merokok. Turunnya produksi rokok hanya berlaku untuk rokok legal yang tercatat produksinya melalui pembelian cukai. 

Sedangkan konsumen rokok justru beralih ke produk substitusi dari turun kelas merek rokok, pindah ke rokok lintingan dan elektrik. Yang terbesar yakni beralih ke rokok ilegal

Rokok Ilegal Berjaya dan Seolah Dilindungi

rokok ilegal

Keberadaan rokok ilegal ini seperti siluman, di berbagai daerah dengan mudah kita temui saban hari. Kian hari makin banyak teman setongkrongan atau di lingkungan kerja yang mengonsumsi rokok ilegal. Cara mendapatkan pun relatif mudah, di toko kelontong atau di internet gampang didapat. 

Keberadaan rokok ilegal kesannya tidak merugikan negara karena kita selalu disodori oleh target penerimaan cukai dan realisasi pendapatan. Sedangkan potensi pendapatan yang hilang karena tidak pernah dikalkulasi dan tidak pernah diketahui, apalagi dipaparkan dalam laporan menteri keuangan. 

Apalagi agregat peredaran rokok ilegal saat ini diperkiraan telah mencapai pabrik lebih dari seperempat dari total rokok yang beredar di Indonesia. Harga rokok yang tinggi akibat pengenaan tarif cukai ini tidak hanya memancing produsen rokok dari dalam negeri, tetapi juga produsen rokok dari negara tetangga pun memasarkan rokok ilegal ke Indonesia. 

Terkait hal ini, entah mengapa Sri Mulyani tidak pernah membeberkan. Kesannya tutup mata. Apalagi penindakan-penindakan atas rokok ilegal terkesan memble hanya sebatas kroco yang ditindak. Tidak pernah menyentuh produsennya. Pabriknya di mana dan siapa pembuatnya senantiasa menjadi tanda tanya. 

Atau jangan-jangan benar kabar yang beredar di masyarakat bahwa pabrik rokok ilegal sengaja dipelihara sebagai sumber penghasilan tambahan oleh oknum-oknum di bea dan cukai dalam lingkungan Kementerian Keuangan?