kemasan polos
OPINI

3 Hal yang Bikin Kemasan Polos di Bungkus Rokok Adalah Pelanggaran Hukum

Kemasan polos dalam bungkus rokok telah menjadi isu terhangat belakangan ini. Pasalnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hendak menerapkan kemasan polos di bungkus rokok melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terbaru. Tentu saja, ada banyak kecaman terhadap ide dari Kemenkes. 

Berbagai Kecaman terhadap Isu Kemasan Polos di Bungkus Rokok

Beberapa pihak yang mengecam ide kemasan polos di antaranya:

a. Kemasan Polos Bikin Peredaran Rokok Ilegal Tak Terkendali

Salah satu pihak yang menyoroti ide kemasan polos dari Kemenkes adalah Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan. Menurutnya, ide kemasan polos akan membantu peredaran rokok ilegal di Indonesia semakin masif. 

“Kemasan polos ini tentu akan mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau, namun yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal,” ujar Henry seperti dilansir dari Kontan, Senin (9/9)

b. Tak Ada Pelibatan Pihak yang Berkepentingan terhadap Industri Hasil Tembakau

Selain GAPPRI, Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Suryadi Sasmita juga menyesalkan mengapa pihak yang berkaitan dengan tembakau tidak dilibatkan. 

“Harus ada keterlibatan dua belah pihak yang secara seimbang. Jangan sampai hanya memenangkan satu pihak dengan yang lain. Karena situasi Indonesia sedang cukup kompleks,” ucap Suryadi seperti dilansir dari Medcom, Rabu (4/9).

c. Penerimaan Cukai Rokok Pasti Berkurang

Hal yang tidak menjadi dasar pemikiran Kemenkes, meskipun memang itu bukan ranahnya, adalah penerimaan cukai rokok pasti berkurang. Potensi konsumen untuk tidak membeli rokok legal, dan kemudian memilih rokok ilegal, akan menjadi besar. 

“Industri tembakau di Indonesia itu beda. Cukai kita berkontribusi hampir 10 persen dari penerimaan negara. Negara lain kan nggak. Jadi nggak bisa disama-samakan,” jelas Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi seperti dilansir Medcom, Rabu (4/9). 

d. Mandat FCTC adalah Upaya yang Nyata

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang Industri (KADIN) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto menyayangkan mandat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai dasar pertimbangan Kemenkes. Menurutnya pula, ide kemasan polos justru semakin membuat peredaran rokok ilegal masif. 

“Ini menjadi kesempatan untuk menjual produk yang tidak patuh aturan ini dengan lebih luas,” ungkapnya seperti dilansir dari Suara Surabaya Kamis (5/9).

Selain kecaman-kecaman tersebut setidaknya ada tiga hal lain yang membuat Permenkes cacat hukum.

3 Hal yang Buat Permenkes Cacat Hukum

Apa saja itu?

1. Melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Pelarangan pencantuman logo atau merek produk serta penyeragaman kemasan produk tembakau berpotensi melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Tentu saja hal-hal sepertinya semestinya harus menjadi perhatian Kemenkes. Kecuali jika Kemenkes memang sengaja ingin menabrak aturan pemerintah, itu lain cerita. 

2. Merugikan Hak Konsumen

Selain menabrak HAKI, Permenkes juga melawan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam salah satu pasal di UU tersebut adalah produsen wajib memberikan informasi yang jelas mengenai produk mereka. Ketika konsumen tidak mendapatkan hak semestinya, produsen jelas salah. Padahal, produsen hanya patuh pada peraturan lainnya. Ini yang menjadi berbahaya.

3. Melampaui Putusan MK

Rokok adalah produk legal dan itu sudah diakui dalam putusan MK. Maka, produsen berhak memasarkan produk tersebut secara layak. Akan tetapi, adanya banyak batasan terhadap produk tersebut maka potensi Kemenkes melampaui putusan MK. Hal ini sama saja pelanggaran hukum. 

Ketiga hal itulah yang seharusnya menjadi catatan bagi Kemenkes. Kita tentu saja berharap Permenkes tidak menjadi sah. Begitu pula dengan PP No 28/2024 yang sebaiknya harus ada revisi.