Jokowi. Itulah nama yang, dalam beberapa pekan terakhir, menghiasi media sosial. Sebagai presiden ketujuh di Indonesia, sebentar lagi akan turun tahta. Ada banyak ucapan. Ada banyak umpatan. Salah satu umpatan tersebut berasal dari pegiat tembakau. Mereka menyayangkan gagalnya pemerintahan Jokowi melindungi Industri Hasil Tembakau (IHT).
Hal ini terlihat dari kurun waktu satu dekade, Jokowi telah menaikkan cukai rokok berulang kali. Bahkan apabila ditotal persentasenya, lebih dari 100%. Sepertinya, hanya Jokowi, presiden Indonesia pertama yang hobi menaikkan cukai rokok. Dari cukai rokok yang terus menerus naik, alhasil berdampak ke bawah.
Sayangnya, Jokowi sering kali abai tentang hal tersebut. Ia seperti berpikir hanya dengan cukai rokok maka prevalensi perokok naik. Padahal, tidak ada korelasinya. Yang jelas, justru adanya kenaikan cukai rokok membuat penerimaan negara meningkat.
Jokowi Gagal Melindungi IHT
Jokowi dianggap gagal sebagai pengambil kebijakan yang melindungi IHT. Sebab, IHT bukannya menjadi lebih baik malah justru menurun. Cek saja jumlah pabrik rokok yang menurun dari tahun ke tahun. Bahkan, pada 2022, salah satu pabrik rokok Apache, Blitar terpaksa tutup karena tidak kuat menanggung biaya produksi.
Akan tetapi, apakah pemerintahan Jokowi punya respons positif terhadap hal tersebut? Oh tidak, tetap saja diam. Tak bergeming sedikit pun. Seakan tidak peduli, tahun 2023 cukai rokok naik lagi. Sebab, mereka tahu bahwa penerimaan negara selalu melebihi target. Padahal, kondisi lapangan sedang sakit meronta-ronta.
Kemudian, kondisi lapangan sedang digempur oleh badai yang bernama rokok ilegal. Peredarannya melesat. Tidak jarang kamu mudah menemukan rokok Smith, Manchester, atau Dalil. Pasarnya ada. Kenapa bisa ada? Ini semua karena harga rokok mahal.
Harga rokok, khususnya SKM kelas I meningkat. Ini menjadi masalah sehingga mau tidak mau konsumen beralih. Sayangnya, konsumen tidak beralih ke rokok kelas II atau III. Jika masih ke sana, oke. Sebab, perokok masih bersedekah kepada negara.
Jangan-jangan negara memang tidak ingin menerima sedekah lagi. Makanya membiarkan rokok ilegal merajalela. Tapi, anehnya operasi gempur rokok ilegal terasa galak. Bahkan, sampai harus menyuruh setiap kepala daerah turun tangan untuk menyuarakan hal tersebut.
Usut punya usut, pada 2023 penerimaan negara via cukai rokok menurun. Bahkan, tidak mencapai target. Di sisi lain, peredaran rokok ilegal meningkat sebanyak tujuh persen. Jadi, sudah jelas yang menggerus penerimaan negara adalah rokok ilegal.
Dampak lainnya, pengusaha rokok ilegal suka menggunakan tembakau mana suka. Artinya, mereka akan acak dan menentukan harga tembakau seenaknya. Sehingga, harga tembakau bisa jatuh. Sudah tidak diambil oleh pabrikan karena kenaikan cukai, eh harga tembakau semakin rumit dengan hadirnya rokok ilegal.
Masalahnya, sering kali petani tembakau tidak tahu bahwa yang membeli tembakaunya adalah pengusaha rokok ilegal. Ya sudah. Petani pun hanya ingin tembakaunya terjual.
Catatan Buruk Pemerintahan Jokowi
Hari ini, tidak ada yang perlu memperdebatkan lagi apakah Jokowi melindungi IHT atau tidak. Jika ada yang menjawab iya, barangkali hanya berdasar pada awal Jokowi memimpin. Saat itu, secara heroik, ia menolak ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Namun setelahnya, tetap menyudutkan IHT.
Bahkan, pemerintahan Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah baru pengganti PP 109/2012, yaitu PP 28/2024. PP yang benar-benar menyulitkan ruang gerak IHT. Eh, sebelum pemerintahannya berakhir, eh mau ada pengesahan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan terkait Kemasan Polos. Ini sangat berbahaya.
Ingat, saat ini sudah lebih dari 450 aturan tentang tembakau. Jika masih ada lagi, akan sangat aneh.