AJI Jakarta Masalahkan Anak-anak Temanggung Bertani Tembakau, Padahal Itu Ikatan Budaya-Sejarah dan Bukan Tanaman Haram

Mempersoalkan anak-anak Temanggung yang ikut bertani tembakau Boleh Merokok

Bertani bergenerasi ala petani Temanggung dipermasalahkan karena dianggap memberi pengaruh buruh pada anak-anak.

***

Beberapa waktu lalu saya dikirimi sebuah buku yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dengan judul, “A Giant Pack of Lies part 2: Kebohongan Besar Industri Rokok”. Buku ini sempat dibedah pada Sabtu, 26 April 2025 di Hotel Grand Keisha Ksatrian, Yogyakarta.

Ngomongin AJI Jakarta, lembaga ini memang masuk ke dalam salah satu daftar panjang pihak-pihak anti-rokok yang ada di Indonesia. Katanya independen, tapi kok berpihak kepada asing yang ingin menghancurkan Industri Hasil Tembakau di Indonesia?

Tapi terlepas itu, ketika membicarakan buku yang AJI Jakarta tulis itu, tentu kita bisa menebak bagaimana isinya: tidak jauh-jauh dari menjelek-jelekkan rokok.

Mempersoalkan anak-anak Temanggung yang bersinggungan dengan tembakau

Misalnya, sebagai oran asli Temanggung, saya sangat tersentil ketika membaca Bab 2. AJI Jakarta melalui penulis Desca Lidya Natalia dan Hartanto Ardi Saputra menulis artikel dengan judul “Rugi Hingga Keracunan Nikotin”.

Yang membuat saya kesentil adalah, mereka turut mengupas soal budaya bertani tembakau di Temanggung.

Membaca bagian itu, tulisan sangat terasa tidak menggunakan pendekatan etnografi yang mumpuni. Sebab, seorang etnografi itu mensyaratkan untuk life in. Alias tinggal beberapa waktu untuk mengetahui seluk-beluk yang ingin diketahuinya.

Begini, kedua penulis mempersoalkan adanya anak-anak di Temanggung yang ikut membantu orangtuanya di ladang tembakau. Katanya, anak-anak itu telah dieksploitasi oleh industri rokok.

Mereka juga menyebut, anak-anak itu rentan terkena berbagai penyakit karena terpapar nikotin yang ada pada tembakau. Mereka pun memberikan argumen yang berangkat dari sebuah riset.

“Riset The SMERU Research Institute berjudul perkebunan Tembakau di Indonesia (2019) menemukan keterlibatan hampir semua anak desa di ladang tembakau. Sebagian besar anak bekerja selama musim tembakau dan mayoritas pada tahap setelah panen. Dari riset itu ditemukan adanya anak-anak yang terpapar kondisi yang berbahaya”. (Baca halaman 47-48).

Ikatan budaya dan sejarah

Sebagai warga asli Temanggung, saya sangat tidak sepakat dengan tulisan itu.

Pertama, apa yang salah dari anak-anak membantu orangtuanya bertani tembakau? Sebab, tembakau dan Temanggung memang memiliki ikatan budaya dan sejarah.

Dari zaman tembakau ditemukan di Temanggung sekitar 1650 lalu, pola semacam itu memang sudah terbentuk. Dan inilah yang namanya Bertani Bergenerasi.

Oh ya, penulis juga mempersoalkan kalau upah yang anak-anak terima tidak sebanding dengan tenaga yang mereka keluarkan. Lihatlah persoalan pada hulunya. Dalam konteks ini, pemerintahlah yang harus bertanggungjawab atas kecilnya serapan pasar yang membuat harga jual tembakau sangat murah.

Padahal, sejak dulu, tembakau menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat tembakau. Dulu, bertani bisa menghidupi. Tidak seperti sekarang, ketika bertani malah dipandang sebagai pekerja rendahan.

Jika mau kembali pada konteks sejarah, negara ini adalah negara agraris. Pertanian adalah penyangga. Lantas, kenapa bertani–apalagi bertani barang legal (seperti tembakau)–malah jadi salah-salahan?

Apakah anak-anak di Temanggung terpapar penyakit? Saya saranakan, lakukanlah kajian etnografis yang lebih serius. Agar tidak memberi kesimpulan mentah belaka.

Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK)

BACA JUGA: Kisah Singkat Tentang Temanggung dari Buku Hitam-Putih Tembakau

 

Artikel Lain Posts

Paling Populer