Cerita Sutopo, Petani Tembakau di Legoksari Temanggung “Membungkam” Kesangsian Orang-orang Jakarta 

Cerita petani tembakau Legoksari Temanggung jawab kesangsian orang Jakarta Boleh Merokok

Catatan Ekspedisi Emas Hijau Edisi Legoksari, Temanggung

Nama Sutopo tidak asing terdengar bagi masyarakat Legoksari, Temanggung. Pasalnya dia bukan hanya seorang petani tembakau, melainkan seorang budayawan dan tokoh yang juga turut serta dalam memperjuangkan isu-isu pertembakauan.

Saat kami berkunjung ke rumahnya, dia menyambut kami dengan baik. Ia pun memberikan cerita bagaimana geliat dirinya dalam bergerak mengawal isu-isu Industri Hasil Tembakau dari mulai PP 109 tahun 2012 hingga isu kenaikan cukai dari tahun ke tahun.

“Saya aktif bergeliat di pengawalan isu pertembakauan itu sejak 2009. Dulu bahkan sering aksi massa dan itu juga bareng Komunitas Kretek,” katanya.

Mendengar itu, saya jadi teringat cerita dari para pendahulu Komunitas Kretek, bahwa memang betul awal-awal lembaga ini berdiri perlawanannya sampai turun ke jalan. Mengorganisir para petani atau buruh. Dan orang-orang Temanggung, termasuk Pak Topo juga dilibatkan.

Petani tembakau Legoksari Temanggung beri jawaban “orang Jakarta”

Di tengah obrolan yang larut itu, Pak Topo turut menceritakan kisah menarik dari kubu antirokok. Pada 2012 ada akademisi bernama Hasbullah Tabrani, sosok anti rokok yang mengusulkan agar harga rokok menjadi Rp50 ribu.

Di tahun segitu, usulan itu sangat tidak masuk akal. Mengingat rata-rata harga rokok di tahun itu masih berkisar Rp10 ribuan.

Narasi yang Hasbullah Tabrani bawa adalah rokok bahaya bagi kesehatan. Selain itu, Tabrani juga menyebut para petani tembakau di Temanggung tidak sejahtera.

Sebagai bentuk konfirmasi, Tabrani mengirimkan belasan mahasiswa dari Jakarta untuk menginformasikan hal tersebut. Legoksari menjadi desa yang ia pilih.

Menurut cerita Pak Topo, ada mahasiswa yang merupakan anak tentara. Ia ikut berangkat bahkan dengan kawalan tentara.

Kekagetan “orang Jakarta”

Berhubung pada kunjungan itu petani di Legoksari, Temanggung tengah menyambut masa panen, maka Pak Topo mengajak para mahasiswa itu untuk pergi ke ladang tembakau yang ada di lereng Sumbing.

Sesampainya di sana ternyata mereka justru kaget. Yang kata Tabrani lahan tembakau di Temanggung hanya beberapa hektare, ternyata ketika menuju lereng Sumbing, ada ribuan hektare yang ditanami tembakau. Semuanya ditanami tembakau

“Ini hanya di lereng Sumbing saja ya. Masih ada ribuan hektare lainnya yang ada di dekat Gunung Prau dan Gunung Sindoro. Pun itu baru ngomongin tembakau di Temanggung. Belum daerah lain misal Jember, Boyolali, Klaten,” kata Pak Topo saat mengilustrasikan jawaban kepada mahasiswa dari Jakarta waktu itu.

Iuran petani tembaku untuk membangun Legoksari Temanggung

Mahasiswa pun masih penasaran. Mereka menanyakan soal pembangunan di wilayah ini. Apakah ada campur tangan pemerintah atau tidak?

Pak Topo menjawab bahwa pembangunan-pembangunan di wilayah Legoksari, Temanggung menggunakan iuran warga. Iuran warga itu ya dari hasil panen tembakau.

Bantuan pemerintah hanya sedikit saja yang berkontribusi di Legoksari. Kebanyakan swadaya masyarakat. Dari mulai pembangunan jalan, sekolah, masjid, semuanya dibangun dari hasil panen tembakau di Legoksari, Temanggung.

Kesejahteraan warga di sini juga jauh lebih sejahtera. Meleset dari dugaan Tabrani. Sebab, masyarakat di sini kalau punya rumah tidak main-main. Rumahnya sangat luas dan bertingkat.

Semua itu bisa dicapai, sekali lagi, karena hasil menanam tembakau. Bahkan kalau ada orang yang mau menawar lahan di Legoksari, Temanggung, justru orang itulah yang akan ditawar balik. Ya karena memang bagi masyarakat Legoksari, tembakau ini memiliki nilai besar, baik secara ekonomi, budaya, hingga hutang budi.

Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin

BACA JUGA: Melihat Pertanian Tembakau Srintil di Desa Legoksari Temanggung

 

Artikel Lain Posts

Paling Populer