Memahami Perang Nikotin: Industri Tembakau Ditekan biar Dagangan Antitembakau Bisa Terjual

Perang nikotin: Tembakau ditekan agar antitembakau bisa jualan Boleh Merokok

Perang dagang dalam dunia rokok setidaknya tergambarkan dalam buku Nicotine War. Buku ini memang tidak membahas Indonesia. Melainkan sedang membahas perang nikotin yang ada di Amerika antara industri rokok dengan industri farmasi. Perang ini setidaknya terjadi dari tahun 1960-an sampai dengan 2000-an awal.

Kenapa ada perang nikotin? Karena barang ini menjadi emas, baik secara ekonomi maupun kesehatan. Misalkan dalam ranah kesehatan sudah banyak riset ilmiah yang membuktikan kalau nikotin bisa menjadi obat anti depresan hingga meningkatan konsentrasi. Tak ayal sewaktu perang Dunia l hingga Perang Dunia ll, rokok dipasok besar-besaran.

Sayangnya nikotin ini tidak bisa dipatenkan. Yang bisa hanyalah sarana pengantarnya. Dalam hal ini industri rokok mematenkan rokok dan industri farmasi mematenkan Nicotine Replacement Therapy (NRT) yang nantinya produknya ada banyak seperti koyok nikotin, permen nikotin, dan sebagainya.

Sebelum NRT ini terpikir, sebenarnya industri rokok lah yang menguasai pangsa pasar di Amerika. Tapi pada akhirnya Industri rokok di Amerika kalah dengan industri farmasi. Setidaknya kemenangan Industri Farmasi ini ditandai ketika mereka mampu merebut ingatan publik dengan menggantikan narasi merokok sebagai kebiasaan menjadi rokok sebagai candu.

Lalu yang kedua, ketika mereka mampu memposisikan rokok sebagai alat pemusnah massal atau mengganggu kesehatan. Sehingga berhubung masuk ranah kesehatan publik, maka pemerintah harus ikut campur di dalamnya.

Kok bisa industri rokok di Amerika itu kalah? Jawabannya lantaran industri farmasi (dalam istilah di buku Nicotine War) melakukan patgulipat dengan pemerintah federal Amerika. Tidak hanya itu, pihak dari industri farmasi juga turut bersekutu dengan para ilmuwan, NGO-NGO, hingga para dokter.

Terbukti bahwa Industri Farmasi di Amerika bisa masuk ke badan kesehatan dunia dalam hal ini WHO. Mereka lah yang turut mensponsori Tobacco Free Initiative  yang kemudian dari situ membawa misi untuk melahirkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Dari FCTC inilah yang kemudian menjadi landasan hukum pengendalian tembakau di seluruh dunia.

Perang nikoton di Indoensia

Seperti yang saya katakan di atas, buku Nicotine War itu membahas perang dagang nikotin di Amerika sana. Tapi apakah ada relevansinya dengan Indonesia?

Tentu saja ada. Perang nikotin di Indonesia itu adalah perang antara kretek dengan rokok putih. Hal itu sudah terjadi sejak abad 20-an.

Sewaktu Perang Dunia l, depresi besar 1930-an, Perang Dunia ll, hingga 1998, antara kretek dengan rokok putih keduanya berbagi pasar. Walau begitu, kretek masih tetap merajai pasar di Indonesia. Karena kretek bisa terwujud nyaris dari rakyat untuk rakyat. Bahan baku yang impor hanya 4% saja, 96% sisanya berasal dari negeri sendiri.

Dua raksasa sedang mengancam Indonesia 

Tapi seiring berjalannya waktu Indonesia saat ini justru sedang berhadap-hadapan dengan dua raksasa besar, yakni industri rokok putih dengan industri farmasi. Kenapa hal itu bisa terjadi? Tidak lain lantaran lahirnya PP 81 tahun 1999.

Hal substansial dalam aturan itu adalah pembatasan tar dan nikotin. Konkretnya adalah kadar nikotin maksimal 1,5 mg per batang dan kadar tar maksimal 20 mg per batang dalam PP 81 tahun 1999.

Melalui aturan itu justru rokok putihlah yang diuntungkan. Untungnya di era Gus Dur dan Megawati aturan itu dianulir. Tapi kata kunci penting adalah industri rokok putih ini sebenarnya ikut membonceng di balik aturan-aturan penekanan industri rokok nasional.

Walaupun sampai hari ini kretek masih berjaya, tapi fakta di balik itu ada pihak-pihak yang terus berupaya menyingkirkan. Bahkan mereka juga dengan terbuka menggandeng pemerintah Indonesia melalui Kementerian kesehatan dan Kementerian Keuangan.

Tak luput ada para ilmuwan, NGO-NGO yang turut diajak untuk menghancurkan kretek yang kemudian kita sebut sebagai gerakan anti rokok.

Perang nikotin: masifnya gerakan antitembakau

Sejak masifnya gerakan anti tembakau ini masif perlahan kretek lekas memudar. Dari mulai PT HM Sampoerna yang diakuisisi oleh Philip Morris pada 2005, Bentoel diakuisisi British American Tobacco pada 2009. Tidak hanya itu, industri kretek lokal semakin menurun.

Saya sedang tidak membicarakan industri rokok yang besar-besar seperti Djarum, Gudang Garam, Nojorono, melainkan yang perlahan mati itu industri kretek skala kecil.

Belum lagi impor tembakau di Indonesia tiap tahun meningkat. Impor cerutu meningkat, tapi kepemilikan terhadapnya itu justru semakin sedikit. Siapa yang diuntungkan? Jelas itu asing. Dan kita perlahan sedang dijajah oleh mereka.

Hal inilah yang perlu diperjuangkan. Bahwa persoalan rokok kretek itu bukan persoalan sederhana. Tapi sangat kompleks. Melalui kretek ada jutaan orang yang bisa hidup. Ada urusan kedaulatan, sosial-budaya juga di dalamnya, dan lain sebagainya. Hal inilah yang mesti kita perjuangkan bersama-sama.

Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin

BACA JUGA: Tuduh Rokok Mengganggu Kesehatan, Ternyata Ujung-ujungnya Jualan Produk Rokok Juga meski Pakai Embel-embel Alternatif

 

Artikel Lain Posts

Paling Populer