PERTANIAN

Kretek, Jembatan Penghubung Antar Dialek

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengelilingi jalanan kota Bandung. Bukan buat ketemu Milea lho ya, apalagi Dilan, tapi untuk mendapatkan data riset soal Dampak Kebijakan Larangan Minuman Beralkolhol di Kota Bandung bagi Kesehatan dan Keselamatan Masyarakat, yang digagas CIPS (Center for Indonesian Policy Studies).

Lantaran topik yang diangkat cukup sensitif, saya harus melakukan pendekatan dari hati ke hati supaya dapat mengorek informasi sebanyak-banyaknya dari calon reponden. Untungnya nasehat Arthur Sclesinger sudah tertanam kuat dalam memori otak; “science and tecnology revolutionize our lives, but memory, tradition, and myth frame our response”.

Kretekus sekalian pasti tau dong, kalau kretek bagian dari tradisi masyarakat Nusantara. Bahkan sempat mewarnai tarik-ulur nasionalisme di tahun 1948, tapi sebelum membahas peristiwa 1948, saya mau berbagi cerita soal kretek sebagai instrumen penelitian.

Berbekal Kretek

Sasaran responden penelitian ini adalah mereka yang mengonsumsi minuman beralkohol, baik sering maupun jarang. Dengan demikian, saya wajib hukumnya untuk memberikan kesan pertama sebaik mungkin.

Sebagai orang Cirebon, falsafah unggah-ungguh bisa jadi solusi jitu untuk membentuk kesan baik. Salah satunya dengan menyodorkan kretek dan kopi sebagai pembuka jalan interaksi. Tentu saja saya agak kesusahan jika menggunakan bahasa Sunda ala Bandung, wong saya kalau ngomong saja dialeknya agak keras. Saya cuma khawatir malah merusak suasana jika harus memaksakan diri berbicara Sunda yang kurang saya kuasai.

Kretek sebagai instrumen komunikasi terbukti ampuh. Setelah satu-dua batang dihabiskan bersama, aliran informasi mengalir keluar dari mulut akang-akang ini. Mungkin sebagai sulih dari upaya saya membuka pertemanan. Setelah bertukar identitas secara verbal, saya tidak canggung lagi untuk menceritakan maksud dan tujuan penelitian ini. Mereka juga biasanya akan senang hati membantu. Pada akhirnya, kita saling terbuka dan membantu karena sebenarnya titik temu kebudayaan masyarakat kita adalah gotong-royong.

Saya sudah membebaskan akang dari kegelisahan ingin merokok, mustahil kalo mereka gak mau bantu saya sebagai pendatang. Seperti kata pepatah Arab, man yajra’ yahshud kita menyemai benih pertemanan, dan akhirnya memetik buah dari usaha kita. Mungkin keliatan sepele, tapi kretek terbukti bisa “mengatasi” perbedaan dialek.

Seperti koridor yang menghubungkan kamar-kamar dengan pintu tertutup. Kenapa tertutup? Tentu, berbicara topik yang saya kaji dengan orang baru, seperti meminta izin untuk masuk sebuah kamar—ranah yang bersifat privat. Komunikasi adalah koridornya, menghubungkan antara kamar satu dan lainnya. Sedangkan kretek semacam surat keterangan bahwa saya dan dia tinggal di atap yang sama. Sehingga tahu bahwa kita adalah tetangga kamar. Seperti halnya tetangga, saling tolong menolong adalah sebuah kewajaran bukan?

 

Kretek di 1948

Seperti halnya beras, kretek pada tahap tertentu menjelma menjadi bahan kebutuhan pokok. Seenggaknya bagi para kretekuslah, ya. Di banyak kesempatan, budaya kita memang tidak bisa lepas dari kretek. Bahkan di acara sakral semacam tahlilan dan ngobeng (begadang sebelum pernikahan digelar) biasanya tuan rumah menyediakan kretek di daftar jamuan.

Kretek punya tempat sendiri di hati penikmatnya, apalagi kalo habis makan gak ngerokok. Rasanya kurang lengkap, kayak nonton dangdut tapi gak goyang.

Ini juga terjadi di tahun 1948. Waktu itu, Perdana Menteri Sjahrir melancarkan diplomasi beras untuk politik internasionalnya. Ia mengumumkan pada dunia bahwa Indonesia mengirimkan kapal barang pengangkut beras ke India, guna membantu korban kelaparan di sana. India sendiri baru merdeka dari Inggris setahun sebelumnya, dan termasuk yang konsisten mengakui kedaulatan Indonesia. Tapi sayang, kapalnya gagal sampai ke sana. Kapal perang dan pesawat tempur Belanda terlebih dahulu menenggelamkan kapal bermuatan beras tersebut. Kala itu, Belanda melakukan agresi militernya yang kedua.

Diserang dari luar, sementara dalam tubuhnya sendiri terkikis. Saat itu republik dalam keadaan yang ringkih. FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang berkerjasama dengan Partai Sosialis, Pesindo, PKI, PBI, dan federasi serikat buruh SOBSI memilih beroposisi dengan pemerintah. Untuk meredam itu semua, pemerintah menggalang kekuatan demi meraup  simpati rakyat.

Muhammad Natsir melalui BP (Brigade Penerangan) menyampaikan bahwa pemerintah telah menggunakan radio, sandiwara, wayang, plakat dan surat kabar untuk mengimbangi agitasi dan demagogi FDR. Uniknya pemerintah juga turut membagikan rokok berserta bahan pangan dan obat-obatan untuk TNI yang sedang head to head melawan FDR.

Harry A. Poeze dalam tulisannya De PKI in Actie: Opstand of Affaire? menambahkan, bahwa Palang Merah menyertakan bantuannya dalam bentuk brosur yang menjelaskan keuntungan-keuntungan bila mendukung Soekarno-Hatta. Rokok-rokok yang dibagikan juga dibanderol dengan tulisan “Tetap Soekarno dan Hatta”. Di tanggal 30 Oktober, Gatot Subroto, yang saat itu menjabat sebagai staf penerangan, melakukan perjalanan dinas guna mempropagandakan pesan yang sama. Tak ketinggalan, TNI diberi pula sebungkus rokok bertuliskan ucapan terimakasih untuk Soekarno sebagai “pahlawanku pembela bangsa”. Temuan Harry Poeze ini membuktikan bahwa sejak dahulu, kretek memainkan peran dalam perjuangan Indonesia.

Kretek adalah simbol rakyat, karena begitu akrab di kalangan akar rumput, meskipun secara umum tidak termasuk makanan pokok, kretek bisa dinikmati semua kalangan. Selain karena budaya,  harganya juga tidak sampai menguras saku. Saking dekatnya, sesama kretekus seringkali berbagi kretek dengan sukarela. Perbedaan dialek, bangsa, dan ras seolah terbang bersama kepulan asap kretek, maka tak salah rasanya bila kretek adalah penghubung berbagai dialek. Kretek bisa menjadi perangkat yang menyatukan perbedaan.

Tinggalkan Balasan