Srintil disebut ‘pulung’ karena manusia tidak bisa merekayasa kemunculannya. Bahkan potensi daun tembakau akan menjadi Srintil atau tidak, pun baru diketahui setelah memasuki fase pengolahan pasca panen.
[dropcap]B[/dropcap]agi masyarakat Temanggung, Srintil adalah tumpahan harapan dan semangat hidup laiknya penari ronggeng nan cantik bagi masyarakat Dukuh Paruk dalam novel Ahmad Tohari. Ya, Srintil adalah nama tembakau yang sangat sohor. Bukan hanya sohor di dalam negeri, melainkan juga hingga manca negara. Kualitas tembakau Srintil dari Temanggung terbaik di Indonesia.
Sementara, bicara hasil olahan tembakau berupa kretek dan entitas industrinya, tembakau Temanggung, terlebih jenis Srintil, jelas menduduki posisi penting karena kandungan nikotinnya yang tinggi. Tembakau Srintil dikenal memiliki peranan sebagai pembentuk rasa dan aroma. Karena posisinya itu Srintil disebut “tembakau lauk.” Dengan komposisi dan perbandingan 1 kg tembakau Srintil dengan dicampur tembakau-tembakau lainnya yang biasa disebut “tembakau nasi” sebanyak 100 kg. Tembakau Srintil biasa digunakan untuk campuran tembakau dari daerah Weleri, Madura dan beberapa daerah di Jawa Timur. Dan konon pula hampir semua industri kretek papan atas saling berlomba membeli tembakau Temanggung, terlebih pada jenis tembakau kualitas mutu terbaiknya yang bernama Srintil itu.
Sayangnya lahan yang mampu menghasilkan tembakau Srintil terbatas, dan hanya dapat dihasilkan dalam kondisi iklim yang kering saja. Beberapa daerah penghasil antara lain Desa Legoksari, Desa Tlilir, Desa Wonosari, Desa Losari, Desa Pagergunung, Desa Pagersari, Desa Wonotirto, Desa Banaran, Desa Bansari, Desa Gedegan dan Desa Kemloko dan Desa Gandu. Secara kuantitas, produksi tembakau Srintil tidaklah besar. Dalam 10 kg tembakau hanya terdapat 1 kg tembakau Srintil
Patut dicatat berbagai faktor turut mempengaruhi muncul tidaknya tembakau mutu Srintil ini, seperti ketinggian lokasi tanam di atas 800 mdpl, curah hujan rendah, suhu yang cenderung kering atau panas, sinar matahari yang cukup, pemeliharaan tanaman dan proses pengolahan pasca panen. Dengan curah hujan terlalu tinggi sudah bisa dipastikan bakal mengurungkan munculnya Srintil. Demikian juga seandainya cuaca mendung terus-menerus di mana matahari selalu tertutup awan dan kabut tebal. Artinya di sini variabel dan determinasi alam (nature) adalah hal yang penting ketimbang faktor peran manusianya (culture). Tak khayal tembakau Srintil oleh sebagian warga Temanggung dianggap ‘pulung’, sebuah hasil yang lebih dikarenakan berkah alam, buah keajaiban alam.
Srintil disebut ‘pulung’ karena manusia tidak bisa merekayasa kemunculannya. Bahkan potensi daun tembakau akan menjadi Srintil atau tidak, pun baru diketahui setelah memasuki fase pengolahan pasca panen. Namun demikian daun tembakau yang berpotensi menjadi Srintil, tercatat lazimnya berasal dari varietas Genjah, Kemloko 1, Kemloko 2, dan Kemloko 3. Saat dilakukan pemeraman barulah diketahui daun tembakau yang berpotensi menjadi kualitas mutu Srintil. Ciri daun berwarna kuning dan penuh dengan bintik coklat, yang dalam waktu dua hari bintik coklat itu akan semakin meluas sehingga sebagian besar daun tembakau itu berwarna coklat. Daun itu kalau ditekan keluar cairan lengket seperti minyak berwarna hitam pekat. Itulah Srintil.
Wajar saja harga tembakau Srintil pun melangit. Sebagai ilustrasi pada 1976 harga tertinggi tembakau Temanggung mutu Srintil mencapai Rp.120.000,- per kg; pada 2009 harga Srintil mencapai Rp. 500.000,- hingga Rp. 750.000,- per kg; sementara tahun 2015 ini menembus angka Rp.1.250.000,- per kg. Bayangkan, tahun ini harga per kg Srintil senilai hampir dua gram harga emas. Tak berlebihan sekiranya tembakau sering disebut orang sebagai “emas hijau”. Ya, Srintil adalah emas hijau itu.
Temanggung merupakan sentra budidaya dan perdagangan tembakau wilayah Jawa, khususnya Jawa Tengah. Menurut data BPS 2010 total luas lahan budidaya tembakau mencapai 14.500 hektar, dengan hasil panen keseluruhannya mencapai angka 14 ribu ton daun tembakau kering. Ketergantungan masyarakat Temanggung terhadap komoditas daun tembakau memang beralasan. Selain nilai ekonomisnya yang tinggi, budidaya tanaman tembakau juga hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat dibandingkan tanaman lain, yaitu 100 hari atau tiga bulan. Menurut penelitian Agung Nugroho (LP3M UMM, 2011), tercatat sepanjang bulan Agustus – Oktober 2011 yaitu masa panen raya, jumlah uang yang beredar di Temanggung mencapai 1,18 trilyun dengan rata-rata peredaran uang mencapai 75 milyar perhari.
Sayang seribu sayang. Apresiasi pemerintah terhadap daun tembakau belakangan nampak setengah hati. Tekanan rezim kesehatan global yang mengatasnamakan isu kesehatan publik melalui skema FCTC justru mendorong terjadinya proses alih tanaman bagi petani tembakau. Mantan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo pernah mendorong petani tembakau di sekitar lereng Sumbing dan Sindoro ini beralih menanam tanaman kopi. Menurutnya, tembakau tak lagi bisa diandalkan sebagai tanaman primadona yang menjanjikan keuntungan besar seperti dulu. “Ojo ngotot tetep nandur mbako,” ujar Bibit waktu itu.
Jelas, asumsi Bibit yang mantan tentara itu secara empiris salah besar. Terbukti, panen raya tahun ini justru tembakau Srintil menembus harga Rp. 1.250.000,- per kg. Jelas, sebuah harga yang sungguh fantastis di tengah-tengah kelesuan ekonomi saat ini, yang tentu muskil dicapai oleh jenis tanaman komoditi lainnya, sekalipun itu adalah kopi.
Ya, Temanggung adalah Srintil, yang kombinasi kekayaan alam dan ketelatenan olah kultural petaninya secara ajaib menjadi rahim lahirnya jenis tembakau yang tak ada duanya di dunia. Meski agak berlebihan, namun tak salah sekiranya dikatakan Srintil adalah salah satu keajaiban dunia.
Sumber foto: Eko Susanto via flickr.com (http://bit.ly/1HhakwF)