EKSPEDISI CENGKEH

Kisah Perempuan Pemetik Cengkeh

“Namun demikian, kerja keras dari perempuan ini mampu memberikan kehidupan bagi keluarganya. Uang yang didapatkannya sebagai buruh tani mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan juga cukup untuk menyekolahkan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun.”

[dropcap]N[/dropcap]urbaya (40), bukanlah sosok yang istimewa. Ia seperti halnya lelaki dan perempuan lain di Desa Samaenre, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Perempuan ini sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, dipekerjakan oleh tetangga sekitarnya yang memiliki sawah atau kebun. Memanen padi atau membersihkan kebun, adalah kerja sehari-hari yang dia lakukan.

Dua pekerjaan tersebut memiliki sistem pengupahan yang berbeda atas kerja buruh tani. Ketika dia memanen padi, dia tak diupah dalam bentuk uang, tapi diupah dengan pembagian hasil dari padi yang dia panen. Sebaliknya ketika ia bekerja untuk membersihkan kebun, dia diupah Rp50.000/hari oleh sang pemilik kebun. Kebun cengkeh yang biasa dibersihkannya.

Dua pekerjaan tersebut memang bukan pekerjaan yang rutin dilakukannya setiap hari, biasanya panggilan pekerjaan itu datang menjelang musim panen tiba. Saat panen cengkeh tiba, Nurbaya akan dipanggil oleh tetangganya yang memiliki kebun untuk bekerja memetik cengkeh. “Semua orang di Samaenre yang memiliki kebun pasti punya pohon cengkeh, dan pada saat panen raya tiba akan selalu kekurangan tenaga untuk memetik cengkeh,” ujarnya pada kesempatan berbincang dengannya.

Pekerjaan itu telah dilakukannya selama lima tahun lebih. Pekerjaan yang harus dilakukan untuk menyambung hidup setelah suaminya tiada. Sebelumnya Nurbaya sempat mencoba menjadi buruh migran di Malaysia, namun hanya dijalani selama delapan bulan saja. Dia tak tega melihat ibunya harus merawat anaknya yang masih kecil seorang diri.

Selama bekerja di Malaysia yang relatif singkat, sedikit uang yang dia bawa ke Samaenre sekadar cukup untuk memperbaiki rumahnya. Mimpinya untuk bisa membeli tanah untuk berkebun tak tercapai karena tak cukup uang yang dia miliki.

Kembali pada ceritanya ketika bekerja sebagai pemetik cengkeh, biasanya dia bekerja mulai pukul tujuh pagi hingga pukul satu siang. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di sana, alat-alat untuk memetik biasanya juga disediakan oleh pemilik kebun.

Mungkin relatif tak besar penghasilan yang dia dapatkan dari memetik cengkeh, mengingat dia hanya mampu memanjat pohon cengkeh hingga ketinggian 15 meter saja, dengan rata-rata menghasilkan 20 liter cengkeh. Untuk setiap liter cengkeh yang berhasil dia petik, Nurbaya mendapatkan uang Rp5.000.

Namun demikian, kerja keras dari perempuan ini mampu memberikan kehidupan bagi keluarganya. Uang yang didapatkannya sebagai buruh tani mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan juga cukup untuk menyekolahkan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun.

Nurbaya bukan perempuan satu-satunya yang bekerja memetik cengkeh, hampir 80% penduduk desa Samaenre memang bekerja sebagai pemetik cengkeh. Kekurangan tenaga pemetik cengkeh biasanya didatangkan pekerja dari daerah Bulukumba.

Walau bukan satu-satunya perempuan buruh tani di Samaenre, namun sosok perempuan satu ini terbilang cukup tangguh. Bukan hanya semata karena harus melakukan pekerjaan yang cukup berat dengan memanjat pohon cengkeh pada ketinggian tertentu, namun juga sosoknya yang menjadi tulang punggung bagi kehidupan keluarganya.

Tinggalkan Balasan