REVIEW

Cerita Cengkeh

Usai makan siang, saya duduk berbincang di sebelah Tete (Opa, Kakek) Felix yang sedang asik kebal-kebul usai makan siang. Pantai laut di Haruku, hanya selemparan batu di muka kami. Angin sepoi menerpa-nerpa wajah kami. Beberapa teman dari jaringan Baileo Maluku sedang asik makan sup kuning kepala ikan Kakap. Di salah satu sudut ruang makan yang terbuka itu, Om Elly (Kepala Kewang Negri Haruku) asyik memainkan Ukulelenya sambil menyanyikan lagu Waktu Hujan Sore-Sore. Suaranya yang Jazzy betul-betul jadi selingan makan siang yang Tuangalah enaknya.

“Antua Om Elly seperti gembira betul ya, Tete Felix. Su dua hari torang di Haruku sini, antua manyanyi terooss…”

“Laki-laki dorang baru panen Cingke, to…”

Ya, Haruku khususnya dan Maluku Selatan umumnya, ketika itu sedang panen raya Cengkeh. Harum Cengkeh yang dijemur di pelataran rumah-rumah begitu semerbak. Ke manapun kaki melangkah, harum Cengkeh akan menguar dan melintas di hidung. Mama-mama, anak-anak, para lelaki kelihatan sibuk mengurus Cengkehnya masing-masing dengan wajah-wajah berbinar.

“Waktu hujan sore-sore kilat sambar pohon kanari
E jojaro deng mongare mari dansa dan menari
Pukul tifa toto buang kata balimbing di kereta
Nona dansa dengan tuan jangan sindir nama beta”
….

Begitu lirik lagu yang dinyanyikan Om Elly. Tiba-tiba Om Elly, peraih beberapa penghargaan lingkungan hidup nasional dan internasional ini, menghentikan nyanyiannya dan menghampiri Tete Felix.

“Felix, ale pu umur su kapala 7 to? Beda sadiki sa deng beta pu umur. Kenapa ale masih merokok terus? Berhenti sudah! Hidup sehat seperti beta ini, tara pernah merokok, kalau menyanyi suara masih bole.”

“Elly, dengar bae-bae, ya. Beta merokok sejak usia remaja. Su berapa tahun itu? Lebih 50 tahun to? Beta baik-baik sa. Lalu kalau banyak orang berhenti merokok, ale pu Cingke akang siapa mau beli? Ale panen Cingke terus mau taruh akang di bawah bantal, kapa?”

“Hah, susah memang bicara deng orang Tanimbar!”

“Heh, orang di seluruh dunia merokok. Bukan cuma orang Tanimbar, ale. Sambarang ale bicara. Nanti kalau ale pu Cingke seng dibeli lai, ale mau jadikan akang ganti beras atau Kasbi?”

Om Elly tidak mau menghiraukan lagi. Ia kembali meraih Ukulelenya, lanjut menyanyi.

Dua tetua kami di Baileo ini memang unik. Kalau tidak bertemu, mereka saling merindukan. Kalau bertemu, pasti saling ejek. Om Elly sering mengejek Tete Felix yang tidak bisa menyanyi, apalagi mainkan Ukulele. “Orang Maluku kok tidak bisa menyanyi. Orang Maluku apa itu?” Ejek Om Elly. Tapi Tete Felix punya jawaban penangkisnya: “Ale menyanyi perlu pendengar yang baik, to? Memangnya enak menyanyi tara ada yang mendengar? Itu tugas beta. Menjadi pendengar. Bagi-bagi tugas, mo!”

Saat ini usia Tete Felix sudah 80-an. Kabar terakhir dari kawan yang menemuinya beberapa bulan lalu, Tete Felix banyak menghabiskan waktu dengan cucu dan cicitnya di kampung. Beliau masih memendam banyak rindu kepada teman-temannya. Pesan WA terakhir yang saya terima dengan foto Tete Felix bilang: “Saleh kapan datang Tanimbar? Beta rindu. Di sini ada banyak Karaka (Kepiting) dan Udang, juga botol-botol Sopi.” Tete Felix, semoga Tete Manis jaga Tete Felix bae-bae. Sehat dan panjang umur selalu.

Ketika ribut kampanye anti rokok dan desakan agar Indonesia meratifikasi FCTC (kerangka kerja konvensi pengontrolan tembakau), bukan hanya petani Tembakau yang akan terancam kehidupannya, tetapi juga petani Cengkeh. Karena FCTC pada pasal 9 & 10 secara eksplisit melarang penggunaan perasa/flavor yang mencakup pelarangan penggunaan Cengkeh pada rokok. Pelarangan yang kemudian dijadikan dasar oleh Uni Eropa bagi beredarnya rokok Kretek di pasar Eropa.

Bayangkan bila Indonesia meratifikasi FCTC, jutaan petani Cengkeh yang pertama akan jadi korban dan gulung kasur, disusul secara beriringan oleh petani Tembakau. Seorang teman dari Saparua, Maluku, pernah jadi perokok tapi lalu memutuskan untuk berhenti sejak bertahun lalu, mengomentari kampanye anti rokok, mengatakan: “Le, ale tau beta dulu perokok berat, to? Sekarang seng mau lai. Stop sudah. Tapi beta mau bilang, sejak sekolah SD sampai tamat UNPATI, semua biaya pendidikan beta deng keluarga dibiayai oleh hasil panen Cengkeh. Cengkeh itu berkontribusi paling besar untuk ekonomi keluarga dan juga pendidikan katong sekeluarga. Jadi, kalau ada kampanye yang akan mematikan pertanian Cengkeh, walaupun su seng merokok lai, beta ikut lawan! Cukkamia dorang!” Candaan Tete Felix kepada Om Elly di atas, bisa saja terjadi: Om Elly akan tidur dengan bantal beralas Cengkeh, dengan seluruh mimpi buruk yang akan dia terima.

Lebih dari 95% hasil perkebunan Cengkeh se-Indonesia memang diserap oleh industri rokok Kretek. Itu fakta. Kawasan Maluku yang mempunyai Cengkeh endemik (di antaranya bisa tumbuh subur di kawasan pesisir) yang berbeda dengan jenis Zanzibar yang banyak di Jawa, telah berpuluh atau beratus tahun mempunyai kehidupan terkait Cengkeh. Sampai beberapa tahun lalu, pohon Cengkeh tertua di Indonesia (100 tahun lebih), ada di Ternate dekat gunung Gamalama. Saat ini pohon tersebut sudah tumbang, karena terlalu tua. Dari hanya sebatang pohon Cengkeh tua itu saja, saya yakin, ada banyak cerita yang hidup bersamanya.

“….kau berjanji
bila Cengkeh berbunga
saat itu
kau akan kembali kepadanya
untuk memetiknya…”
(Penggalan lagu “Bila Cengkeh Berbunga.”)

Anak-anak dan remaja adalah penerima manfaat sampingan dari satu panen Cengkeh. Dengan hanya memunguti dan mengumpulkan buah-buah Cengkeh yang jatuh ke tanah ketika orang dewasa memetiknya di pohon, anak-anak bisa mendapatkan uang puluhan atau bahkan ratusan ribu dengan menjualnya. Belum lagi daunnya yang katanya saat ini sudah menjadi komoditi untuk produk olahan. Ada remaja Maluku yang ketika pergi kuliah ke kota hanya dibekali 1-2 karung Cengkeh untuk biaya bulanannya, dan juga uang semesteran kuliahnya.

Yang juga harus diingat adalah, bangsa-bangsa Eropa yang datang ke Indonesia untuk menjajah negeri ini salah satu tujuannya adalah mencari Cengkeh. Persaingan di antara negara penjajah itupun memengaruhi politik global. Di antaranya, hanya karena Cengkeh.

Dan kini pertarungan tersebut akan dimulai lagi. Walaupun berbeda cara dan pendekatannya, tapi aktornya sama: dunia/lembaga internasional.

Ketika musim panen Cengkeh tiba, seperti di lirik lagu Waktu Hujan Sore-Sore yang dinyanyikan Om Elly di atas, apapun kondisi cuaca, hujan atau panas, jojaro dan mongare (muda-mudi) akan terus bergembira, menyanyi dan berdansa. Kegembiraan mereka inilah, juga para tetua, yang sedang akan dimatikan oleh FCTC.

“Kami bisa melupakan kematian para leluhur. Tapi tidak bisa melupakan warisan leluhur.”
(Almarhum Andi Ando bin Andi Pelang).