OPINI

FCTC Adalah Hama

“Any intellegent fool can make things bigger and more complex… It takes a touch of genius – and a lot of courage to move in the opposite direction.” (Albert Einstein).

Ruang pelayanan pos dan telekomunikasi itu masih belum terlalu ramai. Hanya ada sekira 4-5 orang customer. Ada 3 orang petugas yang siap melayani pengunjung. Ruangan itu berada di dalam gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di Geneva, Switszerland. Musim panas 1990, perhelatan Sidang Sub-Komisi HAM diselenggarakan di gedung ini.

Siang itu sidang sedang break. Saya ngeluyur ke “kantor pos” tersebut, berencana ke wartelnya untuk nelpon Indonesia. Setiba di sana, ketika antri mau nelpon, seorang human rights expert asal Tunisia (kalau tak salah. Pastinya dari Afrika), menunggu sambil menyulut rokoknya. Bayangkan kalau hal tersebut terjadi saat ini, di dalam gedung PBB ketika sedang ada sidang HAM ada seorang human rights expert klepas-klepus ngudud.

Sontak nona muda pelayan pos yang bekerja di ruang tersebut menegur sang expert, dan memintanya untuk segera mematikan rokoknya. Sang expert menolak. Ia mengatakan tak ada tertulis larangan merokok di ruang ini. Lagi pula ini ada asbak besi besar yang pasti disediakan untuk perokok, kata si expert melanjutkan.

Perdebatan kecil di antara mereka berduapun terjadi. Sama-sama ngotot mempertahankan pendapatnya. Akhirnya si nona bilang: “bila anda tidak segera mematikan rokok anda, saya akan pergi meninggalkan ruangan ini!” Si expert seperti baru menyadari sesuatu, kendati tetap memberikan alasan pembangkangan. “Nona, kalau anda mengancam akan pergi, maka akan ada sejumlah orang yang tidak bisa anda layani. Padahal tugas anda adalah memberikan pelayanan yang baik. Karena alasan itu saya akan mematikan rokok saya. Bukan karena alasan tidak boleh merokoknya, karena memang tidak ada larangan merokok di ruangan ini.”

Karena sedang mengikuti sidang HAM di gedung PBB, kejadian tersebut di atas saya diskusikan dengan teman seperjalanan yang paham sangat seluk-beluk HAM. Kesimpulan kami, dalam konteks HAM, kebebasan memilih memang harus dihormati, kendati kebebasan tersebut digunakan untuk memilih tindakan yang salah atau bodoh sekalipun. Karena salah satu point utama dari prinsip-prinsip hak azasi manusia adalah menghormati kebebasan tiap-tiap orang.

Kasus lain. Kepada pekerja di sebuah Cafe di sebuah bandara saya bertanya bisakah saya minum kopi sambil merokok di Cafe tersebut. Si pekerja agak ragu-ragu menjawab: “Bisa diatur, mas. Tapi kalau bisa di meja yang agak di sudut saja merokoknya.” Saya lalu bertanya: “Adakah larangan merokok di Cafe iini?” Si pekerja mengatakan “ya, sebetulnya memang tidak boleh. Tapi bisa diatur, lah.” Saya menolak sikap tersebut. “Mbak, kalau memang dilarang, ya konsisten aja. Saya juga ga papa, kok. Saya akan cari tempat lain, kalau begitu. Terima kasih.” Saya lalu ngeloyor pergi mencari Cafe lain.

Point utama yang ingin saya sampaikan pada dua kisah nyata di atas adalah pentingnya soal respek. Belum ada aturan, hukum, atau prinsip universal yang secara eksplisit menyatakan pelarangan seseorang untuk merokok. Kalau aturan yang mengendalikan, banyak. Tapi tidak ada yang melarang. Karena aktifitas merokok didasari oleh prinsip universal tentang penghormatan atas pilihan masing-masing orang.

Kita mengenal Framework Convention on Tobacco Control (FCTC, kerangka kerja pengendalian tembakau). FCTC yang lahir dari rahim WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) ini sudah diratifikasi banyak negara di dunia, termasuk beberapa negara ASEAN. Indonesia adalah salah satu negara yang masih menunda ratifikasi FCTC. Jelas bukan perkara sederhana meratifikasi FCTC dengan risiko belasan juta manusia akan terganggu mata pencariannya, dari hulu ke hilir.

Pada tahun 2018, industri rokok menyumbang 153 trilyun ke APBN. Pada 2019 naik menjadi 157 trilyun. Dan sebagian besar sumbangan tersebut bermula dari kerja keras para petani tembakau dan cengkeh di seluruh Indonesia.

Jadi selain belasan juta manusia akan terancam mata pencariannya bila FCTC diratifikasi, negarapun akan kehilangan sumber pendapatan ratusan trilyun per-tahunnya. Dari sumber yang sangat bisa dipercaya saya mendapat informasi, bahkan pada setiap PILKADA dan juga Pemilu, bukan rahasia kalau perusahaan-perusahaan rokok menjadi sapi perah para politisi. Seorang politisi yang mau mencalonkan dirinya dalam pemilu, dan orang yang vokal dalam menyuarakan semangat anti rokok, bahkan pernah mendatangi kantor sebuah perusahaan rokok besar dan meminta bantuan dana untuk biaya-biaya politik pencalonannya.

Dalam situasi seperti tersebut di atas, akan gegabahkah pemerintah menyetujui ratifikasi FCTC? Hanya Jokowi yang tahu.

Selain soal-soal tersebut di atas, dari asumsi-asumsi dasar dan arah kebijakannya, FCTC tidak semata berorientasi pada hanya pengendalian, tapi memang mengarah pada pemusnahan. Mungkin sudah tidak banyak yang ingat, atau malah tidak tahu, adalah WHO juga dulu yang memvonis minyak kelapa produksi asli bangsa ini sebagai produk yang berbahaya karena, kata mereka, mengandung kolesterol tinggi. Segera saja kelas menengah ngehe menelan mentah-mentah informasi tersebut, sehingga industri minyak kelapa rakyat lenyap total dari pasaran. Sebagai gantinya, pasar diramaikan oleh minyak-minyak goreng impor.

Pelabuhan Donggala di Sulawesi Tengah yang mulanya selalu diramaikan oleh kapal-kapal pembawa kopra 4 sampai 6 kapal sehari, setelah minyak kelapa dibunuh WHO, perlahan tapi pasti pelabuhan itu mati suri. Seorang tetua di Donggala mengatakan: “saat ini, dalam 1 minggu ada 4 kapal saja yang masuk pelabuhan Donggala, sudah bagus sekali.” Sudah ada sejak tahun 1400-an di bawah kekuasaan kerajaan Banawa, pelabuhan Donggala mencatat reputasinya sebagai pelabuhan utama propinsi Sulawesi Tengah yang melayani arus perdagangan nasional dan internasional untuk kopra, damar, kemiri, dan sapi. Mengiringi penguasaan VOC atas Indonesia, pelabuhan ini mencatat prestasi gemilangnya sebagai pelabuhan paling ramai di Sulawesi ketika booming kopra pada tahun 1920-1939. Terakhir, sebelum ditilep oleh pelabuhan Pantoloan di Palu pada tahun 1975, pelabuhan Donggala masih menjadi tempat berangkatnya sejumlah kapal pengangkut kopra Sulawesi Tengah.

Bila Deklarasi Universal Hak Azasi manusia dengan covenant dan semua convention turunannya berbicara tentang hal-hal prinsip dan nilai yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi, maka bedanya FCTC lebih banyak mengatur (untuk mematikan) usaha-usaha produktif. Bukankah kemudian menjadi sesuatu yang bertentangan bila di sisi hak azasi manusia anda dijamin hak anda untuk bekerja memenuhi hajat hidup, tapi lalu oleh FCTC hak tersebut akan dieliminir?