Dalih Pemberangusan Industri Hasil Tembakau dengan Menggunakan Anak

industri hasil tembakau anak

Kampanye anti rokok benar-benar kejam dan keji karena menggunakan anak untuk memberangus industri hasil tembakau.

Anak adalah anugerah. Sudah semestinya pemberian Tuhan harus dijaga. Bagi perokok, cara menjaga anak adalah tidak merokok di dekat mereka. Industri Hasil Tembakau, yang di dalamnya terdapat perokok, pun memenuhi regulasi tersebut. Dalam bungkus rokok terdapat peringatan tidak merokok di dekat anak dan ibu hamil. 

Akan tetapi, bagi kaum anti rokok, dan lebih jauh anti tembakau, regulasi tersebut belum berjalan dengan baik. Mereka merasa bahwa target pasar industri hasil tembakau adalah anak-anak. Pembuktian dari mereka, mudah. Ada banyak anak merokok dan itu mudah ditemukan di seluruh kota. 

Lalu, mereka bertanya ke manakah tanggung jawab Industri Hasil Tembakau (IHT)? Benarkah industri hasil tembakau mengincar anak sebagai target pasar mereka? 

Dalih Pemberangusan Industri Hasil Tembakau dengan Anak

Tidak ada pembelaan yang mudah apabila segala sesuatu yang dianggap buruk, dikaitkan dengan anak. Dalam hal ini, sesuatu yang dianggap buruk itu adalah IHT. Mulai dari proses panen tembakau hingga konsumsi hasil tembakau, menurut mereka, anak-anak terlibat. 

Untuk yang terakhir, mereka mencantumkan riset yang menyatakan bahwa prevalensi perokok di bawah umur meningkat. Meskipun begitu, data BPS menyanggah riset tersebut yang justru menunjukkan sebaliknya. Data dari BPS menunjukkan penurunan. 

Akan tetapi, saya tidak ingin membahas temuan dua riset yang berbeda itu. Saya lebih ingin menekankan betapa kejamnya teman-teman anti rokok dan anti tembakau tentang hubungan anak dan IHT. 

Jika kalian tidak lupa, beberapa tahun yang lalu Human Rights Watch (HRW) pernah membuat film yang berujung fitnah terbesar sepanjang sejarah IHT di Indonesia. Mereka mengungkapkan bahwa banyak pekerja anak yang terlibat proses produksi hingga panen tembakau. Alhasil, dari situlah mereka terkena penyakit tidak menular. 

Saat itu, banyak orang yang terbelalak hingga akhirnya mengutuk IHT. Namun, selang tidak berapa lama, ada video yang mengungkapkan praktik busuk HRW. Ternyata, mereka membayar tiap anak, yang sebenarnya tidak mengerjakan apa pun, untuk bekerja di ladang tembakau. 

Kejam, bukan? Tidak ada klarifikasi dari HRW. Mungkin takut atau mungkin malu. 

Seakan tidak kapok, mereka sekarang bertarung via regulasi, dan dalam hal ini, adalah RPP Kesehatan. Beberapa peraturan yang disangkut pautkan dengan anak adalah penjualan rokok eceran dan larangan penjualan rokok berdasarkan zonasi (200 meter)

Selamatkan Anak dari Fitnah Anti Rokok

Saya dan bahkan mungkin kita semua, sepakat bahwa merokok adalah aktivitas penuh risiko. Maka dari itu, ada aturan yang klir dan cetha bahwa usia yang pantas merokok adalah usia di atas 18 tahun. Pun dengan penjualan maka tidak boleh menjual rokok untuk mereka yang masih di bawah 18 tahun. 

Yasudah, jika memang peraturannya begitu, tinggal penegakan dan pengawasan. Orang tua perlu ada edukasi. Misalnya tidak boleh menyuruh mereka di bawah usia 18 tahun untuk membelikan rokok. Kemudian, penjual juga tidak boleh menjualkan rokok kepada mereka. 

Nah, bagaimana peran pemerintah? Ya, mengawasinya, dong. Masa’ sudah buat aturan terus pergi begitu saja?

Bagaimana apabila ada permintaan dari kami, yaitu yang membeli rokok wajib ber-KTP? Sebab, dengan hadirnya KTP maka menunjukkan mereka sudah berusia di atas 18 tahun. Apakah pemerintah mau mengawasinya? Lalu, kenapa anti rokok tidak mengusung solusi seperti itu?

Cukuplah anak menjadi kambing hitam untuk kampanye anti rokok. Tidak usah sampai membawa anak menjadi dalih kampanye tersebut. Apakah tidak ada kampanye anti rokok “yang lebih elegan” dengan tidak membawa anak sebagai objek? 

Atau memang, anti rokok mau melanggengkan kepentingan asing saja? Eh. 

Selamat Hari Anak Nasional

Artikel Lain Posts

Paling Populer