Seperti dendam, sepertinya Kementerian Kesehatan hendak melepaskan dendam (lagi) terkait rokok. Pada 2012, Australia mengusulkan bahwa setiap negara wajib menerapkan kemasan polos rokok tanpa merek. Alasannya, berbagai macam. Seperti menurunkan perokok pemula dan rokok merupakan produk berbahaya.
Indonesia menolak. Alasannya jelas. Indonesia merupakan, salah satu dari lima negara besar di dunia, produsen tembakau. Jadi, ketika Indonesia mengikuti aturan tersebut sama saja mencederai petani tembakau, lebih jauh Industri Hasil Tembakau (IHT). Apalagi, jika mengikuti aturan tersebut, sama saja mengikuti arahan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Indonesia sama sekali tidak meratifikasi hal tersebut. Bahkan hingga kini. Sekarang, isu aturan kemasan polos rokok tanpa merek kembali naik. Mulanya berasal dari Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024. Kemudian, muncul aturan turunan yaitu Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan. Isinya tentang aturan kemasan polos rokok tanpa merek.
Untuk Apa Ikuti Aturan Asing?
Sepertinya sudah terjadi banyak penolakan terhadap rancangan aturan kemasan polos tanpa merek. Mulai pedagang pasar, pedagang asongan, hingga pengusaha ritel. Semuanya menolak. Bahkan, beberapa kementerian juga ikut menolak. Contohnya, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga Kementerian Keuangan.
Juga, beberapa anggota DPR yang ikut menolak rancangan aturan tersebut. Namun, sampai sekarang, isu ini terus bergulir dari sebelum Jokowi turun tahta hingga Prabowo naik tahta. Pertanyaannya, kenapa pemerintah tidak segera mengambil tindakan untuk membatalkan rancangan aturan tersebut?
Apakah pemerintah masih berusaha menimbang baik atau buruknya kebijakan tersebut? Sebenarnya, sudah beredar yang terbaru dan ada beberapa revisi terkait rancangan aturan tersebut. Namun, bukannya revisi tersebut adil dan berimbang melainkan malah lebih parah.
Sebab, dalam judulnya, kata pengamanan zat adiktif berganti menjadi standarisasi kemasan. Jelas saja, Kementerian Kesehatan melampaui wewenang Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Kenapa Kementerian Kesehatan sampai harus mengurusi standarisasi kemasan?
Kementerian, yang sebenarnya tidak sehat-sehat amat, Kesehatan harusnya paham bahwa penambahan informasi kesehatan dalam bungkus rokok itu boleh-boleh saja. Namun, jika sampai mengurusi standarisasi kemasan, apa urgensinya?
Sudah Dapat Pajak dan Cukai Rokok, kok, Masih Nglamak?
Kementerian, yang pemimpinnya masih sama kayak kemarin, sudah mendapatkan keuntungan dari uang rokok. Dari mana datangnya? Dari pajak dan cukai rokok. Keduanya diambil dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). Hampir 50% dananya tersebut peruntukannya jaminan kesehatan. Kok bisa? Alasannya, karena risiko terbesar penyakit seperti kanker paru atau penyakit jantung berasal dari rokok. Alasan klasik yang sebenarnya ada bantahan-bantahan tetapi kementerian tersebut tetap bebal.
Sekarang, sudah menikmati dana tersebut, eh malah mau bikin kebijakan yang menyengsarakan masyarakat kelas menengah bawah. Sepertinya Kementerian Kesehatan ingin merebut kebahagiaan sebagian masyarakat Indonesia. Kebahagiaan kecil yang tidak diketahui Kementerian yang mengaku sehat.
Jika pemerintah masih punya rasa nasionalisme, dan memahami bahwa rancangan aturan kemasan polos tanpa merek hanya berat sebelah, segera batalkan!