Ribut-ribut soal rokok termasuk napza atau nama bekennya ialah narkoba tidak akan pernah usai. Dari sejak munculnya PP 109/2012 hingga berganti menjadi PP 28/2024, isu tersebut tidak akan pudar. Hanya saja kelompok anti rokok tetap ingin menyamakan rokok sama seperti narkoba. Maka, mereka ‘sengaja’ memasukkan rokok sebagai bagian dari zat adiktif.
Terbukti, kan, di PP 28/2024 telah tercantum bahwa rokok termasuk zat adiktif. Cuman pertanyaannya, kenapa rokok yang mendapat pengaturan sangat detail di PP tersebut? Bahkan, secara spesifik, produk tembakau, baik konvensional maupun elektrik yang diatur dalam puluhan pasal.
Padahal, rokok tidak termasuk napza. Dan sama sekali berbeda dari narkotika. Secara hukum, rokok adalah produk legal sedangkan narkoba produk ilegal. Maka, akan menjadi salah kaprah ketika menyamakan kedua produk tersebut.
Rokok Tidak Termasuk Napza
Dasar pemahaman antirokok bahwa rokok termasuk napza adalah sifatnya yang mengandung kecanduan. Jika memang benar rokok mengandung kecanduan, pada bulan puasa banyak perokok yang batal puasanya. Mereka akan kejang-kejang dan harus mendapatkan asap agar tetap hidup.
Nyatanya, tidak, kan?
Berbeda jika produk tersebut adalah narkoba. Para penggunanya akan kejang-kejang dan mereka harus segera mendapatkan produk tersebut. Entah itu disuntik atau minum obat. Bagi perokok, hal tersebut tidak akan terjadi.
Oleh karena itu, akan menjadi aneh apabila antirokok tetap bersikukuh bahwa rokok termasuk napza. Baik secara hukum maupun sifat konsumsi, justru berbeda. Hampir sebagian besar perokok menganggap merokok merupakan kebiasaan. Sebuah perilaku yang dapat disebut habituasi.
Mengapa merokok adalah kebiasaan?
Sebab, jika termasuk kecanduan, mereka bisa menyelewengkan dana. Seperti, dana yang seharusnya untuk makan nasi atau beli telor malah berganti menjadi membeli rokok.
Memang, tidak menutup kemungkinan kejadian tersebut bisa saja terjadi. Namun, dampaknya tidak bisa disamakan dengan orang yang adiktif terhadap narkoba. Mereka bisa saja menjual perhiasan atau menggadaikan sertifikat tanah hanya untuk narkotika.
Jika Anda tidak percaya, Anda bisa mengecek di Google. Betapa perilaku teman-teman yang sudah kecanduan narkoba, benar-benar merusak moral bangsa.
Mengapa Antirokok Masih Ngotot?
Antirokok dalam frasa kalimat tersebut maksudnya adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan orang-orang yang mengatasnamakan kesehatan. Masalahnya, Kemenkes hanya menganggap zat adiktif adalah produk tembakau dalam peraturan terbaru. Produk yang lain? Tidak diatur secara spesifik.
Entah ada alasan apa di balik PP tersebut sehingga hanya produk tembakau yang masuk dalam pembahasan. Tentu saja ini bentuk diskriminasi dan tidak bisa dilakukan pembiaran. Tidak heran, ada banyak elemen yang menggugat PP tersebut karena tidak patut. Seharusnya, jika ingin berbuat adil, produk yang lain harus dibahas dalam PP tersebut.
Sebab, PP tersebut merupakan pelaksana peraturan dari UU Kesehatan No. 17/2023. Jadi, seluruh hal yang berkaitan dengan kesehatan sepatutnya mendapatkan proporsi pembahasan. Sayangnya, Kemenkes tidak melakukannya.
Jangan heran bahwa ada banyak penolakan dari berbagai elemen. Pun Komunitas Kretek bersama Komite Nasional Pelestarian Kretek ikut menyuarakan penolakan terhadap PP 28/2024. Hanya bisa berharap bahwa pemerintah harus lebih bijak mengambil kebijakan.