Tingwe Lebih Baik ketimbang Rokok Ilegal: Lebih Murah dan Lebih Hemat

Tingwe lebih baik dari rokok ilegal Boleh Merokok

Saya mulai tertarik dengan lintingan dewe (tingwe) tahun 2019 lalu. Kala itu harga rokok sudah tidak masuk akal, satu bungkus rokok SKM Golongan l isi 12 batang mencapai Rp15.000 lebih.

Sehingga, solusi yang saya ambil untuk tetap bisa berasap di tengah harga rokok yang melambung tinggi itu salah satunya adalah tingwe. Kebiasaan yang kemudian masih terus saya bawa hingga sekarang.

Bagi saya, merokok lintingan dewe itu tidak bikin enek. Paling kalau rokok pabrikan habis 1 bungkus sehari alias 12 batang sudah cukup, sedangkan kalau melinting sendiri bisa sampai 20 batang lebih dalam sehari.

Untuk tembakaunya sendiri saya lebih cocok dengan tembakau dari wilayah lereng Sumbing (Lamsi) atau Lereng Sindoro (Paksi). Saya suka karena tembakau di daerah itu perlu dikasih cengkeh. Jadi kalau mau rasanya berat ya cengkehnya sedikit saja, kalau mau tarikannya enteng cengkehnya sedikit saja.

Tingwe jadi kebiasaan masyarakat Temanggung

Di Temanggung saya justru melihat fenomena tingwe ini sudah menjadi kebiasaan bagi banyak masyarakat sekitar. Orang-orang, baik dari latar belakang berbeda (guru, petani, PNS, pengusaha, anak muda, orang tua) rata-rata terbiasa memilih tingwe.

Hal ini menarik tentunya. Mengingat, di 10 tahun ke belakang, tradisi tingwe hanya terjadi di kalangan orang-orang tua saja dan masyarakat menengah ke bawah. Bahkan saat ini juga bermunculan toko-toko tingwe di berbagai penjuru kabupaten Temanggung. Bahkan sampai ada yang membuka bisnis rumahan tingwe.

Menariknya lagi, masyarakat Temanggung ini justru lebih memilih tingwe ketimbang rokok ilegal. Bahkan nyaris tidak pernah saya temukan orang Temanggung yang bawa rokok ilegal di tengah harga rokok yang melambung.

Berbeda ketika di daerah lain. Di Jogja saja saya cukup banyak menemukan orang-orang yang dengan pede menenteng rokok ilegal ke meja tongkrongan. Sedangkan itu tidak saya temukan di Temanggung.

Rokok ilegal tidak baik

Masyarakat Temanggung saya kira punya kesadaran bahwa rokok ilegal itu tidak baik. Bahkan kalau mau diadu, saya berani taruhan masih enak tembakau Temanggung dicampur cengkeh daripada rokok ilegal.

Rokok ilegal bagi saya cuma menang di murah dan praktisnya saja. Kalau mau dihitung murah mana antara rokok ilegal dengan tingwe, sesungguhnya masih tetap murah tingwe.

Bahkan kalau kita mengkonsumsi lintingan dewe, arahnya jelas, yakni setidaknya membantu perekonomian petani tembakau dan cengkeh. Sedangkan rokok ilegal bisa dipastikan uangnya akan lari ke mafia-mafia rokok ilegal.

Tidak hanya itu, kandungan di dalam rokok ilegal itu juga tidak jelas, apakah ada yang bisa menjamin bahwa semua rokok ilegal yang beredar itu apakah hanya tembakau dan cengkeh yang diracik atau justru ada bahan-bahan lain yang turut campur di dalamnya agar lebih menguntungkan produsen rokok ilegal?

Kalau tingwe di Temanggung itu hanya tembakau dan cengkeh saja. Paling ada yang ditambahi kemenyan. Biasanya ini dilakukan oleh orang-orang tua.

Pengeluaran untuk tingwe lebih murah

Tradisi tingwe di Temanggung itu terjadi secara natural. Organik. Tanpa ada yang mengkonsolidasikan. Dan saya sebagai orang Temanggung mendukung penuh tradisi ini. Ketimbang rokok ilegal.

Melalui tradisi ini tentu pengeluaran untuk merokok jauh lebih murah. Saya hitungkan begini, tembakau Temanggung 1 ons di toko-toko pada umumnya hanya Rp35 ribu-Rp40 ribu.

Sedangkan papir 1 pack isi 10 pcs anggaplah Rp10 ribu. Lalu untuk cengkehnya satu ons cengkeh Manado Rp20 ribu. Total sekitar Ro70 ribu. Dengan uang segitu bisa menghasilkan sekitar 200 batang lintingan (tergantung ukuran juga).

Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin

BACA JUGA: Tobeko: Toko Rokok Andalan Anak Muda di Jogja, Bikin Tingwe Jadi Tren Kekinian

 

Artikel Lain Posts

Paling Populer