Komunitas Kretek dan Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menegaskan keberpihakannya pada kebijakan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, untuk tidak menaikkan cukai rokok di tahun 2026 mendatang.
Daftar Isi
ToggleKebijakan Purbaya tersebut membuat panas beberapa pihak antirokok. Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama ratusan jaringan pemuda dari sejumlah organisasi kepemudaan Indonesia sampai mengirim karangan bunga berisi protes sarkastis di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Selasa, 30 September 2025.
Di hari yang sama, tak berselang lama, puluhan karangan bunga lain menyusul. Dikirim oleh aliansi dan serikat petani hingga pekerja di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT). Mereka mengirim ucapan terima kasih. Sebab, kebijakan tidak menaikkan cukai rokok oleh Purbaya adalah langkah baik untuk memulihkan ekosistem ekonomi nasional yang selama ini ditekan habis-habisan.
Cukai rokok dan penghidupan jutaan orang
Juru Bicara Komunitas Kretek, Rizky Benang, menyebut bahka kebijakan Purbaya sedianya sudah tepat. Sebab, IHT selama ini menopang hajat hidup negara dan masyarakat kecil.
“Merujuk data Kemenprin, sekitar 6 juta orang menggantungkan hidupnya pada ekosistem IHT dari hulu ke hilir. Petani tembakau dan cengkeh, buruh pabrik, distributor, pedagang, dan lain-lain,” ujarnya di Rumah Kretek Indonesia, Rabu, 1 Oktober 2025.
Bahkan, dari tahun ke tahun IHT memberi sumbangan ke negara lebih besar ketimbang seluruh BUMN. Cukai IHT tercatat sebesar Rp218,6 triliun pada 2022 dan sebesar Rp213,5 triliun pada 2023. Sementara setoran dividen BUMN tercatat hanya di angka Rp40 triliun pada 2022 dan Rp81,2 triliun pada 2023.
“Tapi selama ini IHT terus dicekik cukai tinggi, regulasi ketat, dan distigma jahat. Nah, kebijakan yang diambil Menkeu Purbaya memberikan angin segar untuk industri ini,” sambung Rizky.
Antirokok sarat kepentingan asing
Sementara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin, mengatakan bahwa tidak naiknya cukai rokok sama halnya menjaga kedaulatan bangsa. Pasalnya, pengendalian tembakau dan kampanye antirokok sejatinya tidak berdiri sendiri. Melainkan ada kepentingan asing di belakangnya.
Merujuk buku Nicotine War karya Wanda Hamilton, pengendalian tembakau secara global didasari satu motif: perang dagang. Industri farmasi global berhasrat mengambilalih pasar nikotin dari IHT untuk produk-produk dagang mereka seperti koyo nikotin dan obat-obatan yang diklaim bisa membantu seseorang berhenti merokok.
“Jika narasi antirokok selama ini mengusung misi klise: demi kesehatan manusia, nyatanya tidak begitu. Mereka hanya ingin jualan produk yang sama-sama pakai nikotin juga,” jelas Atfi mengutip Wanda.
Untuk misi tersebut, industri farmasi global sampai menggandeng WHO, lembaga kesehatan internasional lain, dan lembaga-lembaga swadaya. Bahkan mereka sampai masuk ke ruang-ruang politis yang pada akhirnya membuat sejumlah negara meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
“Indonesia memang belum meratifikasi produk asing bernama FCTC itu. Tapi poin-poin pengendalian tembakau itu telah diadopsi dalam butir-butir regulasi yang mencekik IHT. Seperti Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pembatasan iklan, regulasi tata niaga (seperti tidak boleh jualan di dekat sekolah), bahkan soal kemasan pun diatur misalnya dengan penampilan gambar peringatan dan wacana bungkus rokok polos,” beber Atfi.
Oleh karena itu, Atfi melihat bahwa kebijakan Purbaya tidak menaikkan cukai rokok sebagai upaya untuk mengembalikan ekosistem dan kedaulatan ekonomi nasional. Semestinya tidak diganggu-ganggu.
Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin
BACA JUGA: Jangan Ada Kenaikan Cukai Rokok 3 Tahun Kedepan demi Pulihkan IHT yang Selama Ini Diremukkan









