logo boleh merokok putih 2

Menafsir Keputusan Pemerintah Tidak Menaikkan Tarif Cukai Rokok 2019

Pemerintah memutuskan tidak menaikkan tarif cukai rokok tahun 2019, sehingga tarif cukai rokok tetap sama dengan tahun 2018. Keputusan tersebut berdasarkan rapat kabinet yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Presiden Bogor, Jumat (2/11/2018).

Untuk sejenak para petani tembakau dan cengkeh, buruh pabrik, pabrikan, serta konsumen dapat bernapas lega atas keputusan pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok. Sebab dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan cukai sangat menjadi beban bagi Industri Hasil Tembakau.

Kenaikan cukai menyebabkan kenaikan harga rokok di pasaran. Ketika harga rokok naik, sangat jelas konsumen harus merogoh kocek lebih besar lagi untuk membeli rokok. Ditambah, daya beli beli konsumen tidak mengalami kenaikan signifikan. Hal ini kemudian menyebabkan pabrikan mengalami penurunan produksi.

Penurunan produksi pabrikan tentu menimbulkan efek domino pada rantai produksi mereka. Jual-beli tembakau dan cengkeh tidak lagi bergairah seperti dulu, sementara para petani dihadapkan pada persoalan ‘dapur’ mereka yang harus terus ngebul setiap harinya. Apalagi kalau musim sedang tidak berpihak pada petani, kerugian jelas menanti mereka.

Bagi pabrikan besar beban tersebut sedikit-banyaknya bisa diatasi, tapi bagi pabrikan kecil satu-satunya jalan adalah gulung tikar usaha mereka. Ketika gulung tikar, tentu disana terdapat ribuan buruh linting dan karyawan pabrikan yang harus kehilangan mata pencaharian.

Hal menakutkan lainnya dari kenaikan cukai adalah maraknya peredaran rokok ilegal. Ketika harga rokok bercukai tergolong mahal bagi konsumen, maka konsumen akan dihadapkan pada pilihan memilih mengonsumsi rokok yang lebih terjangkau harganya. Disinilah kemudian menjadi celah pasar bagi produk rokok ilegal. Demi menjaga asap agar tetap ngebul, membeli rokok ilegal menjadi pilihan konsumen.

Siapa yang dirugikan dari maraknya peredaran rokok ilegal? Ada dua pihak yang paling dirugikan, yakni negara dan pabrikan. Pertama adalah negara karena dari peredaran rokok ilegal, pemerintah tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Tidak ada cukai yang bisa dipungut dari rokok ilegal sebagai pemasukan negara. Dari peredaran rokok ilegal, negara mengalami potensi lost yang besar dari sektor Industri Hasil Tembakau.

Pihak kedua yang dirugikan tentunya adalah pabrikan. Mereka membeli cukai di awal untuk produk yang sudah diproduksi, tapi ketika dilempar kepada konsumen, produk mereka tidak laku akibat persaingan yang tidak sehat dari produsen rokok ilegal.

Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai tahun depan merupakan keputusan yang tepat bagi keberlangsungan Industri Hasil Tembakau di Indonesia.
Adapun pihak yang kebakaran jenggot akibat keputusan tersebut adalah kalangan antirokok. Baru-baru ini bahkan Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menjadi sibuk melempar argumen mengenai keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok tahun depan kepada media-media. Argumen-argumen sumbang dikeluarkan dengan mengatakan bahwa keputusan tersebut merupakan malapetakan bagi bangsa Indonesia.

Tulus Abadi memaparkan data yang dari dulu dipakai oleh kalangan antirokok menyoal pravelensi merokok di Indonesia yang terus meningkat. Tulus berpendapat bahwa cukai rokok harus dinaikkan setinggi-tingginya, ini mutlak dan tidak boleh tidak naik, sebab Tulus memaknai cukai dalam perspektif pengendalian. Artinya demi dikendalikannya produksi dan konsumsi rokok, cukai menjadi instrumen utama alat pengendalian.

Saya ingin membenahi logika Tulus dan antirokok lainnya yang sedang kebarakan jenggot mengenai cukai.

Pertama-tama kita bisa memaknai cukai dari pengertian cukai dalam undang-undang. Dalam undang-undang cukai nomor 39 tahun 2007, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang.

Dari undang-undang jelas mengatakan bahwa cukai adalah bagian dari pungutan negara. Artinya negara mendapatkan pemasukan dari pungutan cukai. Satu point penting yang dilewati oleh Tulus dan kalangan antirokok.

Karena pada titik point pungutan negara ini, pemerintah sah-sah saja untuk membuat keputusan naik atau tidaknya cukai rokok. Pemerintah memiliki pertimbangan tersendiri atas keputusan tersebut.

Wakil Presiden, Jusuf Kalla ketika menanggapi pertanyaan mengapa pemerintah memutuskan tidak menaikkan tarif cukai rokok, mengatakan bahwa pemerintah tidak pernah menaikan sesuatu sebelum pemilu. Mulai dari BBM, listrik, hingga pajak. Hal tersebut dilakukan demi menjaga stabilitas.

Jika pemerintah nekat menaikkan tarif cukai, pemerintah dihadapkan pada persoalan stabilitas nasional yang dapat terganggu. Apalagi melihat Industri Hasil Tembakau yang sedang mengalami kelesuan. Menaikkan cukai malah bisa jadi blunder, alih-alih ingin menggenjot pendapatan negara, justru bisa mengurangi pendapatan negara.

Persoalan bahwa rokok adalah produk yang memiliki karakteristik produk yang harus dikendalikan itu bukanlah landasan argumen yang tepat bagi keputusan pemerintah untuk menaikkan atau tidak menaikkan tarif cukai rokok.

Bahwa dalam konteks pengendalian, rokok sudah dilapisi regulasi pengendalian, dapat dilihat dari batasan umur konsumsi, batasan produksi, batasan marketing dan penjualan, hingga pencantuman peringatan kesehatan. Tapi untuk persoalan kenaikan cukai, disini memang perlu ada pertimbangan lain, mengingat cukai adalah instrumen bagi pendapatan negara.

Kalangan antirokok yang kebakaran jenggot ini hanya melihat aspek kesehatan saja terhadap cukai rokok. Tidak melihat aspek multidimensional lainnya. Dan yang lebih bahayanya lagi, argumen yang mereka pakai seolah-olah paling benar dan mulia karena mengatasnamakan kesehatan masyarakat.

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok di tahun depan merupakan langkah yang tepat. Cukai yang selama ini dipergunakan oleh kalangan antirokok untuk menjadi instrumen pengendalian tembakau, ke depannya harus melalui pertimbangan atas kondisi obyektif Industri Hasil Tembakau, sehingga cukai dapat dijadikan alat kesejahteraan dan memakmurkan rakyat Indonesia.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Azami

Azami

Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek