rokok
PERTANIAN

Anti Rokok dan Kedudukannya dalam Penentuan Tarif Cukai

Hanya para stakeholder Pertembakauan lah yang memiliki legal standing untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka mengkaji tarif cukai rokok.

cukai-002-feat

[dropcap]A[/dropcap]khir-akhir ini pemberitaan mengenai wacana kenaikan harga rokok yang mencapai 50 ribu Rupiah, mewarnai jagat pemberitaan di media, terutaman media sosial. Entah apa yang menyebabkan isu tersebut sangat menyebar di media sosial hingga menjadi obrolan warung kopi, bahkan Wakil Presiden dan Menteri Keuangan pun ikut menanggapai. Tak mau kalah dengan Pemerintah, DPR pun ikut-ikutan urun suara.

Pada awal munculnya pemberitaan, saya menduga isu tersebut tidak lebih dari dua hari akan nongkrong di jagat media sosial, bahkan saya tidak berpikir hal itu akan menjadi topik panas pemberitaan di televisi. Hemat saya, isu politik seputar Pilkada Jakarta tentu masih lebih menarik dibandingkan wacana kenaikan harga rokok. Tetapi, saya salah duga. Saya bahkan tercengang, ketika melihat isu naiknya harga rokok sampai dengan 50 ribu Rupaih menjadi sangat viral, dan bahkan menjadi pemberitaan yang hingga kini masih diberitakan.

Menjadi lebih heran dan tak habis pikir, ketika media televisi sekelas TV One dengan acara Indonesia Lawyer Club-nya, suata acara yang cukup bergengsi untuk membahas persoalan hukum, tiba-tiba menjadikan isu rokok 50 ribu menjadi tema diskusi. Kebetulan saya diundang hadir di forum itu, walau saya mengurungkan niat menjadi narasumber mewakili Bagian Hukum Komunitas Kretek. Saya mempercayakan kepada sahabat saya, Zulvan Kurniawan, Ketua Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek, duduk sebagai narasumber. Saya hanya mengamati diskusi sambil mencatat dalam otak, apa sebenarnya jalan pikiran para anti rokok menyuarakan kenaikan harga rokok mencapai 50 ribu.

Dari semua pemberitaan baik di media sosial maupun media televisi, memang diketahui bahwa isu kenaikan harga rokok 50 ribu Rupaih adalah hasil survei Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (PKEKK-FKM UI) pimpinan Prof. Hasbullah Thabrany. Dalam pemberitaan tersebut memang masih belum jelas arah dari survei tersebut, apakah agar seluruh masyarakat Indonesia yang merokok menjadi berhenti, atau memang agar anak-anak tidak merokok, atau ada agenda lain dari survei tersebut? Baru pada Selasa malam itulah, di acara ILC saya mulai paham arah survei kenaikan harga rokok yang dilakukan oleh Prof. Hasbullah Thabrany itu.

Sejak saya terlibat dalam advokasi Pertembakuan di Indonesia hingga hari ini, kampanye apa pun yang dilakukan oleh anti rokok, basis argumentasinya hanya satu dimensi yaitu perlindungan atas hak kesehatan, terutama anak-anak dan para remaja dibawah 18 tahun dan ibu hamil. Saya sangat bisa mengerti mengenai wacana hak kesehatan yang selalu didengung-dengungkan dalam kampanye anti rokok. Baginya, hak atas kesehatan adalah hak konstitusi yang harus dijamin dan tidak dapat dikurangi sedikitpun. Begitu kan argumen kalian wahai para anti rokok?

Mari sekarang kita bicara mengenai hak atas kesahatan yang berkaitan dengan hasil suvei kenaikan harga rokok menjadi 50 ribu. Saya memang bukan seorang Profesor, sehingga belum pantas untuk melakukan pengujian secara metodologi ilmiah terhadap survei yang dilakukan tersebut. Tetapi, hal paling mendasar jika argumennya adalah perlindungan bagi masyarakat akibat dari rokok yang menyebabkan kematian (alat pembunuh), menurut saya adalah aneh ketika melakukan survei untuk menaikan harga rokok. Ada yang tidak nyambung dari premis penelitian tersebut. Jika memang alasan mendasarnya adalah perlindungan dari bahaya rokok, sehingga konsumsi rokok harus dibatasi dengan cara menaikan harga rokok, kenapa tidak sekalian melakukan penelitian untuk menghilangkan konsumsi rokok dengan mendorong lahirnya kebijakan rokok dan tembakau di Indonesia sebagai barang ilegal. Menurut saya, itu masih lebih relevan dan nyambung antara premis-premisnya.

Dalam survey tersebut, untuk menaikan harga rokok mencapai Rp. 50.000 maka dialkukan dengan menaikan tarif cukainya. Inilah yang kemudian menjadi titik poin, sehingga pemerintah ikut bicara. Apa lagi disaat pemerintah sedang mengalami devisit APBN. Entah ada politisasi atau tidak, yang jelas bak gayung bersambut antara hasil survei yang diberitakan dengan defisitnya APBN. Namun demikian, paling tidak, dalam acara ILC, Dirjen Bea Cukai sebagai narasumber, telah menyampaikan bahwa belum akan menaikan cukai hingga harga rokok mencapai 50 ribu. Pemerintah masih harus mengkaji dan meminta masukan dari para pemangku kepentingan Pertembakuan.

Kebijakan Kenaikan Cukai

Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai, diatur memang mengenai penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada RAPBN. Secara tegas ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai, yang berbunyi:

Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia (DPR RI) untuk mendapat persetujuan

Tinggalkan Balasan