Formasi kementerian sering berganti-ganti. Namun, dari masa Joko Widodo (Jokowi) hingga sekarang Prabowo Subianto, ada satu nama yang tak tergeser dari posisinya: Sri Mulyani. Dia kokoh di posisinya sebagai Menteri Keuangan (Menkeu).
Sepintas, Sri Mulyani adalah sosok baik. Karena menjadi “menteri kesayangan” dua presiden. Namun, yang perlu dicatat, justru arus air yang tenang lah yang kadang kala menyimpan bahaya besar.
Sri Mulyani: Menteri Perampok Rakyat Kecil
Sejak Sri Mulyani menjabat Menteri Keuangan, banyak kebijakan yang tidak masuk akal. Paling baru misalnya: kenaikan PPN menjadi 12% untuk 2025.
Belum lagi kebijakannya pada Industri Hasil Tembakau (IHT). Kenaikan tarif cukai IHT menjadi momok mengerikan bagi orang-orang di IHT. Alih-alih terlihat patut disayangi, Sri Mulyani justru lebih tampak sebagai musuh rakyat kecil: dia bak perampok.
Hampir setiap tahun Sri Mulyani menaikan tarif cukai untuk IHT. Hanya di tahun politik saja dia “macak baik”.
Ke mana uang-uang itu?
Pertanyaan itu sungguh mengusik. Terlebih setelah membaca Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2024 ini.
Sri Mulyani melaporkan, harta kekayaannya mencapai Rp79 miliar. Dengan berbagai rincian kendaraan, tanah dan bangunan. Angka yang sangat fantastis untuk seorang menteri keuangan sebuah negara.
Ke mana uang-uang hasil pajak dan cukai itu? Semoga di antaranya tidak masuk menjadi kekayaan pribadi Sri Mulyani yang nyaris satu triliun itu. Semoga. Walaupun akhirnya tetap memicu rasa curiga.
Sri Mulyani biang rokok ilegal
Maka, tidak perlu lama-lama curiga atas dari mana saja kekayaan Menteri Keuangan kesayangan tersebut. Ada satu akibat paling kentara dari kebijakan Sri Mulyani, khususnya terhadap IHT.
Lantaran tarif cukai yang terus naik, banyak pelaku IHT–khususnya yang dari kelas menengah–memilih “jalan terlarang”: bisnis rokok ilegal, tanpa cukai.
Lah gimana. Mereka butu hidup. Sementara untuk mencari penghidupan yang “benar”: dengan taat pada kebijakan, nyatanya malah membuat hidup mereka tercekik.
Kebijakan menaikkan cukai hingga di titik “mencekik” alhasil membuat para pelaku IHT tidak mendapatkan apa-apa. Tidak sebanding dengan apa yang mereka setorkan kepada negara.
Padahal para birokrat itu hanya terima bersih. Tidak ikut panas-panasan di ladang. Taidak capek mengangkat puluhan kilogram daun tembakau. Apalagi ikut repot membersihkan, mengiris, dan merajang tembakau hingga siap jual. Tentu tidak
Belum lagi para petani cengkeh yang mempertaruhkan keselamatan, bahkan nyawanya ketika memanen cengkeh. Mereka harus memanjat pohon tinggi-tinggi di tengah teriknya panas matahari. Tidak jarang mereka terpeleset dan jatuh dari pohon.
Maka jika ada pertanyaan, kenapa di Indonesia banyak rokok ilegal? Penyebabnya sudah sangat jelas di atas.