REVIEW

Tidak Perlu Menaikkan Cukai, Begini Cara Mengurangi Angka Perokok

Presiden Joko Widodo(Jokowi) sepakat untuk menaikkan tarif cukai sebesar 23 persen tahun depan. Kenaikan tarif cukai membuat rata-rata harga jual eceran rokok diperkirakan meningkat 35 persen dari harga jual saat ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani,  seperti yang dikutip Kumparan.com, menjelaskan salah satu pertimbangan kenaikan cukai karena ingin mengurangi jumlah perokok. Harga yang naik tentu akan menyulitkan para perokok hingga mencegah peningkatan konsumsi rokok di Indonesia.

“Yakni bagaimana kebijakan cukai rokok bisa mengurangi konsumsi rokok. Bagaimana dia bisa mengatur industrinya dan yang ketiga tetap menjaga penerimaan negara,” kata Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (13/9).

Sri Mulyani menganggap, dengan pemerintah menaikkan cukai, maka secara otomatis angka perokok akan turun. Asumsinya sangat sederhana,  dengan cukai naik otomatis harga jual rokok juga naik. Maka masyarakat tidak akan bisa membeli rokok. Pemerintah sukses, Indonesia lebih sehat karena semakin sedikit  orang yang merokok. 

Anggapan ini  jelas keliru. Mau rokok naik setinggi apapun, loyalitas perokok terhadap lintingan emas hijau ini tidak akan pudar. Jika tak mampu membeli rokok pabrikan, maka perokok masih bisa melinting sendiri untuk menikmatinya.

Hampir mirip  dengan Sri, Menteri Koordinator Perokonomian Darmin Nasution mengungkapkan, setidaknya ada 3 hal kenapa cukai rokok tahun ini naik sebesar 23 persen.  Pertama, tahun 2019 pemerintah tidak menaikkan cukai rokok, maka menjadi wajar jika tahun 2020 naiknya lebih besar. 

“Tahun lalu tidak naik. Sehingga ya naiknya wajar kalau lebih banyak, lebih besar,” ujarnya. [Kompas.com]

Tahun 2019 memang pemerintah tidak menaikkan cukai. Tetapi apakah ini kemudian dapat dijadikan alasan kenaikan cukai 2020. Tentu saja masih bisa dipertanyakan. 

Publik bisa saja menilai, tidak naiknya cukai tahun 2019 lantaran pada tahun itu adalah tahun politik. Semua calon tentu saja  ingin mendapat dukungan dari petani tembakau, buruh pabrik rokok dan jutaan orang lainnya yang menggantungkan hidup dari industri hasil tembakau. Toh pada keputusan tersebut, Sri Mulyani tidak memberikan alasan yang jelas, kenapa cukai tidak naik. (Baca: Pemerintah Tidak Naikkan Cukai Rokok Tahun 2019)

Kedua, menurunkan konsumsi rokok masyarakat Indonesia. Logika ini sama persis yang digunakan Sri Mulyani.

Ketiga, urusan  penerimaan negara. Pemerintah meyakini kenaikan cukai akan mengdongkrak penerimaan negara. Hal ini dinilai penting karena pemerintah membutuhkan banyak dana untuk pembiayaan anggaran di APBN 2020.

Alasan ketiga inilah yang mungkin agak masuk akal. Pemerintah perlu  menaikkan cukai setinggi-tingginya karena pemerintah butuh banyak uang untuk menjalankan program-program. Untuk membangung dan lain sebagainya.

Namun menjadi rancu, di satu sisi pemerintah ingin menurunkan jumlah perokok. Artinya pemerintah ingin masyarakat  tidak membeli rokok. Di sisi yang lain pemerintah ingin mendapatkan setoran besar dari industri ini. Tak tanggung-tanggung, Sri Mulyani menargetkan dapat mengeruk Rp 173 triliun di 2020.

Rasa-rasanya pemerintah ini hanya punya daya pikir pendek. Mereka tidak mampu berpikir panjang untuk menjaga hasil pendapatan negara ini. Bukan malah membunuh pelan-pelan dan hanya  memikirkan bagaimana pada periode kepempinannya dapat menjalankan program-program dan mengumpulkan uang untuk negara, meski rakyatnya dicekik setiap saat.

Untuk Bu Sri dan Pak Darmin, kalo memang  niatnya mengurangi perokok, dorong saja Presiden untuk melarang masyarakat menanam tembakau serta cengkeh dan menutup semua pabrik rokok di negeri ini. Gitu baru keren!