Pandangan publik dalam perspektif kesehatan mengenai tembakau dan produk hasil tembakau selalu negatif dan ‘no debat’. Seakan sudah tidak ada lagi ruang perdebatan, semua serba hitam-putih. Sejatinya ini adalah perang tembakau.
Padahal jika mengulik kembali beberapa literatur, kita dapat menemukan warna selain hitam dan putih. Salah satu literatur yang dapat menguak kebenaran mengenai tembakau dan kesehatan ini adalah buku Nicotine War (Perang Nikotin).
Dalam perang manapun, selalu perlu menetapkan siapa penjahatnya. Perang Nikotin pun demikian, dan para pabrikan rokok AS dan Inggrislah yang dengan sadar harus menyandang peran itu. Begitu gemilangnya kampanye untuk mencap jahat industri tembakau sehingga perorangan atau organisasi manapun yang pernah menerima dana dari perusahaan tembakau atau bahkan membela industri tembakau pun dicap jahat berdasarkan keterkaitan itu.
Karir para ilmuwan yang amat dihormati pun bisa berantakan jika sebagian kecil saja dari penelitian yang mereka lakukan secara mandiri didanai oleh industri tembakau.
Bahkan Klub Nasional 4-H, organisasi anak muda yang sama sekali bersih, turut dikecam karena menerima hibah tanpa syarat dari industri tembakau dalam rangka mendanai kampanye organisasi itu untuk mencegah penggunaan tembakau oleh anak-anak dan remaja.
Namun industri tembakau belum dianggap sebagai “musuh” jika kita kembali ke tahun 1976 ketika peneliti kanker paru-paru terkemuka, Ernst Wynder, tidak berkeberatan terhadap kerjasama antarnegara di antara komunias ilmiah, departemen-departemen pertanian dan industri tembakau. Dan selama sekian waktu memang terjadi kerjasama itu.
Dari 1968 sampai 1980, para ilmuwan dari National Cancer Institute dan lembaga-lembaga lain berjalan seiring dengan para ilmuwan industri tembakau dalam program federal untuk mengembangkan rokok yang lebih aman. Pemerintah federal tiba-tiba menghentikan program itu pada 1980.
Walaupun laporan Surgeon General AS hingga 1989 memperingatkan risiko kesehatan pada merokok, mereka tidak menjelek-jelekkan industri tembakau. Satu-satunya bagian yang menyinggung industri tembakau dalam kata pengantar laporan SG 1989, “Reducing the Health Consequences of Smoking: 25 Years of Progress,” adalah tentang pemasaran rokok yang membidik “kaum kulit hitam dan Hispanik.”
Namun pada 1994, laporan Surgeon General sudah meningkat serangannya terhadap industri tembakau dan praktik-praktik pemasarannya:
“Riset belakangan ini menunjukkan bahwa promosi tembakau yang luas menimbulkan dua efek penting: ia menciptakan anggapan bahwa jumlah orang yang merokok seolah lebih banyak daripada kenyataannya, dan ia menyediakan penghubung antara citra-diri yang nyata dan citra-diri ideal— dengan kata lain, merokok dibikin agar tampak keren. Apakah ada hubungan sebab-akibat atau tidak, efek itu menyuburkan keputusan untuk merokok, menjadi awal bagi rangkaian kejadian yang memprihatinkan dan tak ada habis-habisnya.” (M. Joycelyn Elders, Surgeon General, Preface, “Preventing Tobacco Use Among Young People: A Report of the Surgeon General, 1994).
Dan pada tahun 2000, laporan Surgeon General sudah bernada balas dendam terhadap industri tembakau. “Kekuatan terpenting pada merokok adalah totalitas kegiatan industri, meliputi iklan, promosi, aktivitas organisasi, dukungan untuk aneka permintaan bantuan, dan aksi politik, yang menjaga marketabilitas dan profitabilitas produk.” (Jeffrey Koplan, Director, Centers for Disease Control and Prevention, Foreword, “Reducing Tobacco Use: A Report of the Surgeon General, 2000).
Frasa “industri tembakau” muncul berkali-kali (dan selalu negatif) pada laporan tahun 2000, di samping uraian-uraian yang menyinggung “pemasaran kepada anak-anak” dan “ketagihan”, dan tentu saja sarana efektif untuk “menangani” ketagihan. Laporan itu juga menyarankan regulasi pemerintah terhadap produk tembakau, pemberlakuan “standar udara bersih dalam ruangan” dan “perlindungan” anak-anak dari rayuan produk tembakau. Dan, berbeda dengan pakar kanker paru-paru Ernst Wynder, laporan ini juga mengingatkan bahaya rokok rendah tar. Rokok dengan kandungan tar dan nikotin rendah pada dasarnya tidak kurang berbahaya dibandingkan merek-merek yang kandungannya lebih tinggi. Konsumen bisa terkecoh oleh janji yang tersirat pada kadar racun yang dikurangi itu, yang melandasi pemasaran merek-merek tersebut.” (CDC “Tobacco Products Fact Sheet” for the 2000 S.G. report).
Pencarian berdasarkan waktu atas data PubMed dengan memakai frasa kunci “industri tembakau” menunjukkan pola serupa, yakni meningkatnya fokus pada industri tembakau itu sendiri. Dalam rentang 16 tahun dari 1965 hingga 1990, hanya 72 kutipan yang muncul pada artikel-artikel jurnal yang diterbitkan, sedangkan antara 1991 hingga 2000—hanya dalam rentang 9 tahun—muncul sebanyak 888 kutipan untuk “industri tembakau”.
Tren ini tampak menunjukkan bahwa upaya melekatkan cap jahat terhadap industri tembakau sesungguhnya dimulai pada akhir 1980-an atau awal 1990-an, di sekitar masa ketika FDA menyetujui beredarnya koyok nikotin dan ketika dana dari industri farmasi mulai menggelontor kepada gerakan anti-tembakau.