Kesetaraan gender di industri hasil tembakau bisa menjadi percontohan bagaimana kita bisa berlaku setara di dunia kerja, tanpa membedakan apa saja, apalagi jenis kelaminnya.
Buruh wanita yang bekerja di industri rokok paling mendominasi jumlahnya. Kurang lebih di angka 83% total keseluruhan. Hal ini bukan tanpa sebab. Para wanita disinyalir paling rajin dan tekun. Sehingga saat ini, merekalah pewaris keahlian menggiling tembakau menjadi batangan rokok di industri sigaret kretek tangan (SKT).
Banyak orang tak menyadari dan mengira keberadaan buruh wanita sejak awal. Sebetulnya kaum adalah kali pertama orang yang mengolah dan membuat tembakau menjadi batangan rokok. Memang sejak rokok kretek diproduksi massal kaum perempuan sudah terlibat. Akan tetapi dominasi tetap kaum adam.
Sebelum rokok kretek muncul, aktivitas merokok sudah ada dengan memakai “cangklong” (alat kecil ujung bakarnya terdapat lubang sebagai tempat tembakau). Cangklong ini digunakan oleh para bangsawan seperti Keraton, Abdi dalem, pejabat pemerintah Belanda dan para pengusaha.
Masyarakat desa hanya menggunakan daun dari jagung untuk membungkus tembakau. Kemudian berkembang menggunakan kertas yang dinamakan “papier”.
Dahulu bangsawan terlebih penjajah Belanda sering meledek keberadaan rokok bungkus jagung yang biasa disebut “klobot” dengan sebutan “kaum miskin”. Dan memang benar adanya, karena masyarakat bawah saat itu tidak mampu membeli alat cangklong. Menurut mereka mending untuk beli makanan dari pada beli cangklong dengan harga mahal.
Ini bukti bahwa masyarakat bawah untuk memenuhi kebutuhan merokoknya tidak serta merta. Ia tetap memperhatikan kebutuhan dapur rumahnya.
Kali pertama rokok kretek di produksi masal oleh para pengusaha besar dan home industri, disitulah terlihat banyak kaum adam yang terlibat dan minim kaum hawa.
Mulai dari pengolahan tembakau dari petani, proses penyatuan satu tembakau dengan jenis tembakau yang lain, pembuatan tambahan perasa atau disebut perisai (buatan sendiri) hingga produksi dilakukan kaum adam. Walaupun terlihat kaum hawa hanya sebagai pembantu bersih-bersih, mempersiapkan dan mengambil alat yang dibutuhkan.
Lama kelamaan keberadaan kaum adam diakuisisi oleh pekerja perempuan. Dan ternyata dari hasil kreativitas kaum perempuan hasilnya lebih bagus dan rapi. Tidak hanya itu pekerja perempuan lebih disiplin masuk kerja, lebih teliti dan tidak jarang bolos kerja, cerita Samsul Hadi mantan pengusaha rokok skala kecil di Desa Prambatan Kaliwungu Kudus.
Awalnya, kemampuan perempuan diragukan. Dan perempuan saat itu hanyalah sebagai ibu rumah tangga saja. Mulai para perempuan bersentuhan membuat batangan rokok, ketika suaminya membawa bahan rokok yang akan diproduksi di rumah.
Jadi, dahulu menggiling atau membuat batangan rokok tidak harus dilakukan di pabrik dan boleh dikerjakan dirumah. Nah disinilah sedikit demi sedikit kaum perempuan baik itu istri atau anaknya membantu suami atau bapaknya membuat batangan rokok. Batangan yang sudah jadi, kemudian disetor ke rumah “juragan” atau bos. Yang kemudian mendapatkan upah atau gaji sesuai jumlah batangan rokok yang disetor.
Ketika para pengusaha melihat dan bisa membedakan batangan rokok hasil kaum perempuan lebih bagus, kemudian mereka mulai memilih dan mempekerjakan kaum perempuan. Dan ternyata memang benar adanya, hasil buatan kaum perempuan lebih disukai konsumen. Mulai dari sinilah, kemudian pelan-pelan peran kaum adam digeser keberadaan kaum hawa.
Tidak hanya itu, quantity meningkat tinggi dibanding diproduksi kaum adam. Dan ternyata kaum perempuan juga bisa menggantikan pekerjaan kaum adam seperti aktivitas angkat barang tembakau, aktivitas mencampur tembakau dan seterusnya. Faktanya demikian, keberadaan buruh perempuan hasilnya lebih bagus, efektif dan efisien, lanjut cerita Samsul.
Kalau dilihat sejarahnya, mempekerjakan kaum hawa dengan jumlah besar dan mendominasi sejak dulu hingga sekarang hanya terlihat pada sektor industri olahan tembakau (pabrikan rokok). Sebelum pemerintah betul-betul memperhatikan keberadaan kaum perempuan.
Jika sekarang pemerintah mengatur dengan mengharuskan ada pertimbangan kuota perempuan (kesetaraan gender) dalam perusahan, politik dan kegiatan lainnya, sebetulnya industri olahan tembakau (pabrik rokok) sudah mempraktekkan.
Tidak berhenti di situ, dengan keberadaan industri olahan tembakau, tidak sedikit kaum hawa / buruh perempuan menjadi tulang punggung menghidupi keluarganya.
Hanya di industri olahan tembakau atau pabrik rokok kaum hawa betul-betul dihargai, bahkan sekalipun tanpa ijazah sekolah formal atau punya ijazah hanya tingkat dasar. Industri mana yang mau mempekerjakan perempuan tanpa ijazah atau punya ijazah akan tetapi hanya sekolah dasar. Rata-rata perusahaan (selain pabrik rokok) sangat mempersyaratkan ijazah dan tingkatan ijazah.
Jadi bisa dikata, industri rokok SKT betul-betul industri padat karya yang bisa membantu masyarakat kelas bawah untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun apa boleh buat ternyata pemerintah tidak mempertimbangkan hal yang demikian. Pemerintah ternyata mau membunuh mata pencaharian merekam dengan banyak regulasi yang tidak memihak industri rokok kretek, dan menaikkan cukai tiap tahunnya dengan semangat membunuh pelan-pelan industri rokok kretek Indonesia.