Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) menolak bila tembakau disetarakan dengan narkoba seperti tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan).
Forum diskusi antar ahli keilmuan Islam di PBNU ini yang digelar di Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu, 6 Mei 2023, tidak hanya menolak, tetapi juga meminta agar pengaturan soal tembakau dihapus total dalam RUU tersebut.
“Kami menolaknya,” kata Ketua LBM PBNU Mahbub Ma’afi seperti dikutip Tempo.co soal keputusan LBM PBNU
Menurut Ma’afi, aturan soal tembakau cukup diserahkan ke aturan yang saat ini sudah berlaku saja. Sebagaimana diketahui, soal tembakau telah diatur dengan ketat oleh PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Sampai sekarang, sikap resmi dari LBM PBNU ini akan segera tertuang dalam rekomendasi yang tengah mereka susun.
BACA: Diskriminasi RUU Kesehatan terhadap Perokok
Tembakau Disejajarkan dengan Psikotropika, Narkotika dan Alkohol
Sikap LBM PBNU ini untuk merespon upaya mensejajarkan tembakau dengan adiktif lain seperti psikotropika, narkotika, dan alkohol.
Beberapa argumentasi yang dikeluarkan oleh para kiai tentang komoditas unggulan pertanian Indonesia bernama tembakau. Wakil ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan hukum PBNU Nur Kholis misalnya, ia menyoroti nasib para pekerja yang menggantungkan hidupnya di dalam industri tembakau.
Ia mencermati nasib 6 juta pekerja yang bergantung terhadap penghidupan dari komoditas tembakau. Bila RUU disahkan maka para pekerja ini akan terancam penghidupannya.
“Padahal, undang-undang dibuat harusnya menjadi pemecah dari permasalahan sosial,” kata Nur Kholis.
LBM PBNU menilai pasal-pasal soal tembakau yang ada dalam RUU Kesehatan justru menempatkan pelaku usaha di Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai kriminal layaknya penanam candu (Papaper Somniferum), kokain (Erythroxylon coca), dan ganja (Cannabis sativa), atau pengedar, pemakai, atau bahkan pengedar narkoba.
“Penyempitan ruang gerak serta stigmatisasi buruk sebagai dampak yang dikhawatirkan dari adanya RUU Kesehatan ini berbanding terbalik dengan kontribusi IHT terhadap beberapa sektor ekonomi strategis negara,” demikian pernyataan sikap LBM PBNU.
Sebagaimana diketahui, sampai sekarang tembakau merupakan komoditas unggulan pertanian di Indonesia. Serta dibudidayakan oleh banyak orang dari Aceh sampai Papua. Penyerapan tenaga kerjanya juga signifikan, di industri rokoknya saja 5,98 juta orang. Belum lagi industri yang terkait dengan tembakau.
Pasal 154, Pasal Kontroversial Tentang Tembakau dalam RUU Kesehatan
Dalam draf RUU Kesehatan yang dirilis di laman resmi Kementerian Kesehatan, ada beberapa poin yang diatur dalam Pasal 154 tersebut. Bunyi lengkapnya yaitu sebagai berikut:
(1) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua bahan atau produk yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat.
(3) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
- narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
(4) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e harus memenuhi standar dan/atau persyaratan Kesehatan.
(6) Hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dapat berupa: a. sigaret; b. cerutu; c. rokok daun; d. tembakau iris; dan e. tembakau padat dan cair yang digunakan untuk rokok elektrik.
(7) Hasil pengolahan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat berwujud padat, cair, atau wujud lainnya yang tidak mengandung hasil tembakau.