diskriminasi ruu kesehatan
OPINI

Diskriminasi RUU Kesehatan terhadap Perokok

Industri Hasil Tembakau (IHT) selalu mengalami dinamika yang naik turun pada periode manapun. Dalam periode sekarang, IHT ditekan oleh rezim kesehatan dengan munculnya RUU Kesehatan. RUU yang tidak hanya membikin diskriminasi kepada perokok melainkan juga ke seluruh pelaku IHT. 

RUU Kesehatan memiliki banyak pasal. Namun, yang paling disorot adalah pasal 154 yang memiliki lima poin. Dalam pasal 154 ayat 3 terdapat penjelasan mengenai zat adiktif. Ada narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, hasil tembakau, dan hasil pengolahan lainnya. 

Dari penjelasan tersebut, hanya penjelasan tentang hasil tembakau yang diubah redaksinya menjadi produk tembakau. Namun, sebenarnya ada hal yang lebih jauh perlu ditelaah: mengapa hasil tembakau –yang kemudian menjadi produk tembakau disejajarkan dengan narkoba?

Intervensi Rezim Kesehatan kepada IHT

Jauh sebelum hiruk pikuk RUU Kesehatan, rezim kesehatan sudah mengganggu hajat hidup pelaku IHT sejak tahun 2009. Saat itu muncul UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Dalam pasal 113 ayat 2, tembakau adalah satu-satunya tanaman yang dianggap ke dalam zat adiktif. 

Tentu saja, pasal tersebut membuat polemik yang besar khususnya terhadap IHT. Sudah hanya satu tanaman, eh masih dimasukkan ke dalam zat adiktif. Padahal, masih ada banyak tanaman yang memiliki dampak tidak baik bagi kesehatan. Selain itu, pengelompokkan tembakau ke dalam zat adiktif memunculkan asumsi bahwa khasiat tembakau sama dengan narkotika atau psikotropika. 

Penolakan tersebut cukup kencang dan bahkan sempat ada pengajuan uji materiil ke MK terhadap undang-undang tersebut oleh warga Temanggung. Sebab, kehadiran pasal tersebut sama saja pemerintah berusaha mencabut hak hidup dan hak budaya masyarakat Indonesia yang termaktub dalam UUD 1945. 

Dengan melihat jejak rekam tersebut maka akan sangat aneh apabila di kemudian hari muncul RUU kesehatan yang malah mensejajarkan tembakau dengan narkotika. Yang lebih berbahaya lagi tidak hanya hasil tembakau melainkan produk tembakau. Alhasil, ini menjurus hal yang spesifik yaitu produk rokok. 

Nasib Perokok Apabila RUU Kesehatan Menjadi UU

Perokok menjadi salah satu objek yang dirugikan ketika RUU tersebut disahkan menjadi UU. Mereka yang merokok akan selalu mendapatkan pengawasan bahkan dicurigai terus menerus. Padahal, produk tembakau yang bernama rokok adalah barang legal. Barang yang kena cukai karena dampaknya dianggap mengganggu kesehatan. 

Yang lebih menyedihkan, dalam pasal selanjutnya, tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah atau pemilik tempat yang sifatnya umum menyediakan tempat merokok. Tentu saja, ini diskriminasi yang sangat menyedihkan. 

Sebenarnya, tanpa menghadirkan RUU tersebut, dalam PP 109/2012 telah memuat peraturan yang sangat kompleks tentang pengaturan yang meliputi produksi, distribusi, hingga konsumsi produk tembakau

Sayangnya, rezim kesehatan cenderung lebih menyukai membuat peraturan baru ketimbang harus melaksanakan dan menegakkan peraturan yang telah berlaku. Entah ada dorongan apa yang menyebabkan rezim kesehatan justru memilih membuat dan mengajukannya ke publik. 

Sikap Pemerintah terhadap RUU Kesehatan

Pemerintah memang belum mengambil langkah lebih jauh terhadap RUU ini. Seperti sebelum-sebelumnya, pemerintah lebih suka melihat respons publik, apakah menerima atau menolaknya. 

Namun, patut diingat bahwa peristiwa UU Cipta Kerja bisa menjadi pelajaran bagi pelaku IHT. Sebab, dengan gelombang penolakan yang besar, tetap saja pemerintah mengesahkan RUU menjadi UU ketika publik lengah. 

Oleh karena itu, mari kita bersama-sama untuk menolak RUU Kesehatan sejak dini. Bahwa RUU Kesehatan memiliki diskriminasi yang tinggi terhadap perokok. Bahwa RUU Kesehatan memiliki potensi yang besar untuk menghancurkan Industri Hasil Tembakau.