Keinginan WHO untuk memberantas IHT adalah ilusi, yang sejarinya hanyalah perang nikotin. Sebuah perang yang berwujud distribusi NRT.
World No Tobacco Day yang diterjemahkan sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia sejatinya menyimpan satu tujuan klasik. Seklasik narasi sejarah penaklukan bangsa-bangsa besar dunia melalui perang yang berlangsung hampir 8 abad. Jauh sebelum revolusi industri 1.0 yang ditandai pada abad 18.
Perang yang memakan waktu hampir 8 abad itu dikenal dengan Perang Reconquista. Meski narasi sejarah besar itu tak sebanding tentunya dengan perang nikotin yang diisyaratkan sebagai upaya penguasaan pasar nikotin. Namun, pada prinsipnya peristiwa klasik itu didasarkan pada agenda penguasaan dan didukung oleh dua faktor utama.
Pertama, perpecahan serius di dalam kaum Islam Spanyol. Kedua, bersatunya kaum Kristen di Utara Spanyol yang berkembang menjadi kekuatan hebat dan menjalankan misinya secara bertahap dan hati-hati.
Jika kita sandingkan dengan peta perang nikotin yang juga didukung oleh perpecahan di kalangan konsumen rokok oleh sebab terfragmentasi oleh mitos-mitos kesehatan, kemiskinan, stunting dan lingkungan.
Sementara di pihak lain, terjadi kongsi kuasa modal antara kepentingan farmasi dan industri raksasa rokok global (MNC) yang menggunakan tangan WHO untuk mengakselerasi target-target monopoli di negara-negara penghasil tembakau.
Dapat ditengarai dari pola gerakan antitembakau global yang secara prinsip memerangi iman perokok konvensional, tujuannya jelas mendorong perokok untuk hijrah ke produk mereka yang menyingkirkan terminologi tar (residu dari proses merokok). Perokok di Indonesia adalah pasar menggiurkan bagi kepentingan bisnis nikotin.
Perlu dicatat lagi, HTTS yang diperingati setiap tanggal 31 Mei yang dicanangkan WHO pada mulanya diserukan menggunakan terminologi Tanpa Rokok, namun kemudian diksi rokok berubah menjadi tembakau. Tentu bukan tanpa alasan politis terkait perubahan frasa tersebut.
Perlu ditengarai juga, secara politis peringatan tersebut bernuansa subliminal advertising. Makna implisitnya untuk menyusupkan kepentingan bisnis senyawa nikotin yang disponsori kapitalisme farmasi. Sekaligus menebalkan musuh bersama bagi dunia; Industri hasil Tembakau (IHT).
Strategi Politik Dagang dan Perang Nikotin
Di bagian ini strategi politik dagangnya terbaca. Setelah sebelumnya dikategorikan sebagai kebiasaan (habituating). Untuk pertama kalinya pada tahun 1988, Surgeon General US dalam dokumen yang berjudul The Health Consequences of Smoking: Nicotine Addiction mengkategorikan nikotin sebagai zat adiktif. Ini adalah perang nikotin sebenarnya.
Menariknya, di dalam dokumen tersebut, Surgeon General US merekomendasikan salah satu pengobatan untuk berhenti merokok, yaitu menggunakan nicotine polacrilex atau nicotine resin complex, yang umumnya disebut nicotine gum atau permen karet nikotin sebagai pengganti nikotin dalam rokok.
Tak kalah menarik lagi adalah pada tahun 2000, empat perusahaan farmasi besar, yaitu Glaxo Wellcome, Novartis, Pharmacia dan SmithKline Beecham, kemuanya ternyata memproduksi dan/atau memasarkan produk-produk “pengganti nikotin” atau penghenti merokok lainnya, mendanai sebagian besar anggaran World Conference on Tobacco ke-11 di Chicago.
Seperti yang dapat ditebak, perusahaan-perusahaan farmasi di dalam konferensi tersebut mendukung penerapan Nicotine Replacement Therapy (NRT) yang merupakan terapi penggantian nikotin. Bagaimana tidak, NRT adalah barang dagangan mereka.
Rangkaian usaha untuk menurunkan konsumsi rokok benar-benar membuahkan hasil. Di Amerika Serikat misalnya, pada tahun 2000, konsumsi rokok anjlok hingga 2.092 batang per orang per tahun. Pada 2016 jumlahnya kembali telah turun menjadi 1.691 batang rokok per orang per tahun.
Tidak hanya konsumsi rokok, kampanye anti-rokok juga berdampak pada penjualan obat berhenti merokok, yang pada tahun 2000 nilainya mencapai US$ 700 juta atau Rp9,8 triliun dalam kurs sekarang.
Bahkan pada tahun 2007, Chantix yang merupakan obat berhenti merokok yang diproduksi oleh Pfizer – perusahaan farmasi asal Amerika Serikat – terjual senilai US$ 883 juta atau sekitar Rp12,4 triliun. Keuntungan yang fantastis bukan di atas fitnah yang dialamatkan kepada industri tembakau.
Lihat Lebih Dekat tentang Produk WHO
Mari kita zoom in sejarahnya, ternyata pada akhir tahun 1990, Pfizer dan Glaxo membiayai secara penuh anggota WHO agar membentuk WHO Tobacco Free Initiative (TFI). Dan pada tahun 1998, Pharmacia Upjohn, Novartis, dan Glaxo-Wellcome – yang semuanya adalah perusahaan farmasi – menjadi sponsor terbentuknya WHO TFI tersebut.
Sponsor itu bukan tanpa alasan yang jelas ataupun hanya sebatas filantropi saja, melainkan karena ketiga perusahaan farmasi itu memasarkan produk produk-produk NRT. Dengan kata lain, mereka akan memiliki akses langsung untuk merekomendasikan produknya kepada TFI, bahkan dapat melakukan intervensi agar NRT menjadi rekomendasi untuk menurunkan konsumsi rokok.
Di Indonesia sendiri sebagai upaya untuk menurunkan konsumsi rokok, pemerintah mengerek cukai rokok terus naik tiap tahun. Sejak agenda FCTC diaksesi ke dalam regulasi di Indonesia. Dimana sebelum tahun 2016 kenaikan cukai masih di bawah 10%, kemudian di era Jokowi dikerek sampai 10% dan puncaknya sangat tinggi pada 2020 naik sebesar 23%.
Hal ini selaras dengan laporan yang dikeluarkan Bank Dunia yang berjudul Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control, yang menyatakan bahwa kebijakan menaikkan harga rokok melalui penaikan cukai merupakan strategi utama yang harus dilakukan untuk menurunkan konsumsi tembakau.
Tidak hanya diuntungkan secara ekonomi melalui target penerimaan pajak sebesar Rp 180,5 triliun pada tahun 2020 yang lalu, Indonesia juga diuntungkan secara politik. Sebab, dapat mengeratkan hubungannya dengan Bank Dunia terkait implementasi strategi penurunan konsumsi tembakau.
Rekomendasi peningkatan cukai rokok tidak hanya direkomendasikan oleh Bank Dunia, melainkan juga menjadi rekomendasi dari International Monetary Fund (IMF) dan World Health Organization (WHO) memperlihatkan kebijakan ini sebenarnya sarat akan kepentingan politis.
Pengaturan tentang Pajak Tembakau
Pengaturan mengenai pajak atas tembakau jelas bukan barang baru. Adam Smith dalam bukunya berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) sendiri telah membahas perihal penggunaan pajak tembakau sebagai instrumen ekonomi.
Adam Smith mengkategorikan tembakau sebagai barang mewah, yang berarti barang yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan pokok, tapi dikonsumsi secara luas. Inilah yang menjadi dasar kenapa merokok selalu diasosiasikan sebagai aktivitas bergengsi.
David Ricardo kemudian memperluas teori Adam Smith tentang perpajakan dalam bukunya Principles of Political Economy dan Taxation tahun 1817 yang menjelaskan bahwa pajak barang mewah memiliki beberapa keuntungan atas pajak barang kebutuhan pokok karena tidak meningkatkan tingkat upah dan mengurangi keuntungan produsen.
Ia juga berpendapat bahwa konsumen akhirnya tetap akan memiliki batas pajak atas pengenaan cukai pada komoditas tertentu yang terus meningkat. Setelah batas pajak tercapai, konsumen akan berhenti atau mengurangi pembeliannya, bukan karena ia tidak bisa lagi membelinya, tapi karena ia harus membayar harga yang lebih tinggi daripada yang menurutnya layak. Dan ini berlaku pada konteks item apapun.
Dalam Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control, Bank Dunia menyimpulkan 3 strategi utama untuk menekan konsumsi tembakau. Pertama, Meningkatkan pajak tembakau secara komprehensif, agar konsumsi tembakau menjadi jauh berkurang. Kedua, Menerbitkan dan menyebarluaskan hasil-hasil penelitian tentang efek tembakau pada kesehatan, menambahkan label peringatan keras pada rokok, melarang iklan dan promosi (rokok) secara menyeluruh, dan membatasi kegiatan merokok di tempat-tempat kerja atau tempat tempat umum. Dan ketiga, memperluas akses pada pengganti nikotin (NRT) dan terapi-terapi penyembuhan ketagihan yang lain.
Berdasarkan target ketiganya, sampai saat ini pemerintah Indonesia sudah mengupayakan dua strategi, yakni peningkatan pajak dan penyebarluasan vibes bahaya rokok serta pembatasan iklan rokok.
Konsumen, Bank Dunia, dan Program HTTS
Seperti dalam rekomendasi Bank Dunia akan naik sebesar 10% tiap tahun. Dengan kata lain, hanya menunggu waktu sampai masyarakat tidak mampu lagi untuk membeli rokok.
Imbas konkrit dari kondisi tersebut, tentunya akan terdapat kebutuhan untuk melakukan terapi berhenti merokok. Hal ini ditempuh agar terlepas dari pengaruh nikotin rokok yang tidak mampu lagi atau enggan dibeli konsumen.
Mengingat besarnya konsumen rokok di Indonesia, ini akan menjadi peluang pasar yang menjanjikan bagi perusahaan farmasi yang menyediakan obat berhenti merokok. Satu hal lebih menarik lagi adalah PT Pfizer, yang merupakan perusahaan farmasi asal Amerika Serikat ternyata telah menjual obat berhenti merokok di Indonesia sejak tahun 2007.
Sudah adanya Pfizer tentu semakin meningkatkan spekulasi bahwa Indonesia akan berlanjut ke strategi ketiga perang nikotin dari Bank Dunia, yakni penerapan NRT ataupun terapi-terapi pengganti nikotin lainnya.
Akan tetapi, pertanyaannya adalah apakah pemerintah akan mengambil risiko sengketa dengan industri rokok yang merupakan penyumbang cukai terbesar? Apalagi industri rokok merupakan penyerap banyak tenaga kerja dan merupakan tumpuan ekonomi bagi para petani tembakau.
Dengan kata lain, untuk sampai pada strategi ketiga, Indonesia harus menjawab mengenai pengganti penerimaan cukai dari rokok, untuk menjawab nasib jutaan buruh industri rokok serta para petani tembakau dan cengkeh. Tidak hanya itu, Indonesia juga akan mendapatkan tekanan dari Bank Dunia, IMF, dan WHO terkait komitmen menurunkan konsumsi rokok.
Tilik saja nanti bagaimana keberlanjutannya di Indonesia. Namun sejauh ini, dugaan keuntungan yang akan didapatkan oleh industri farmasi di Indonesia memang belum kelihatan. Sekali pun hal itu bukan mustahil terjadi pada tahun-tahun berikut.
Sampai di sini, kita perokok mestinya sudah dapat menangkap mengapa HTTS menjadi seperti monumen pemasaran isu yang terus diselebrasi setiap tahun. Yap, Inti di baliknya jelas untuk mendelegitimasi industri kretek dan IHT secara luas.