logo boleh merokok putih 2

KNPK Menolak Simplifikasi Tarif Cukai Tembakau

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). Di dalam PMK tersebut terdapat aturan main terbaru mengenai roadmap penyederhanaan tarif CHT (simplifikasi cukai).

Simplifikasi layer tarif diberlakukan untuk jenis SKM (Sigaret Kretek Mesin), SKT (Sigaret Kretek Tangan), dan SPM (Sigaret Putih Mesin) yang dilakukan secara bertahap selama periode 2018-2021.

Simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau, penerapannya sebagaimana berikut:

  1. 10 (sepuluh) strata tarif mulai tahun 2018
  2. 8 (delapan) strata tarif mulai tahun 20 19
  3. 6 (enam) strata tarif mulai tahun 2020
  4. 5 (lima) strata tarif mulai tahun 2021

Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menilai bahwa simplifikasi cukai akan berdampak negatif terhadap Industri Hasil Tembakau di Indonesia. Ada 3 hal yang menjadi landasan argumentasi KNPK.

Pertama, kebijakan simplifikasi cukai mengancam eksistensi kretek sebagai produk khas Indonesia. Mari perhatikan bagan di bawah ini.

Dari bagan di atas, terlihat pada 2021 ketika simplifikasi cukai berjalan hingga hanya tersisa 5 layer tarif cukai saja, Sigaret Putih Mesin atau yang biasa disebut rokok putihan, tarifnya akan setara dengan Sigaret Kretek. Padahal, tarif cukai rokok putihan sudah seharusnya lebih tinggi daripada kretek, dikarenakan rokok putihan banyak didominasi oleh perusahaan multinasional serta bahan baku dan proses produksinya berada di luar Indonesia.

Sementara kretek merupakan produk khas asli Indonesia yang rantai produksi dari hulu ke hilirnya dikerjakan di dalam negeri dan diolah oleh anak bangsa. Sehingga, kretek perlu dibedakan perlakuannya dengan rokok putihan. Dalam hal ini negara memang sudah seharusnya memberikan proteksi kebijakan terhadap kretek.

Kedua, menurunnya trend produksi dan konsumsi Sigaret Kretek Tangan (SKT). Jika kebijakan simplifikasi cukai diterapkan, maka rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) produksinya akan naik, sementara itu produksi SKT akan mengalami penurunan yang signifikan.

Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, produksi SKT sejak periode 2011 sampai 2017 terus menurun sebesar 5,5% per tahun. Data penurunan tersebut menjadi catatan penting bagi pemerintah dan stakeholder pertembakauan. Dikarenakan penurunan produksi dan konsumsi SKT dapat berimbas kepada matinya industri kecil menengah.

Apalagi, jumlah pabrik rokok terus mengalami pengurangan. Data Bea Cukai menunjukkan, sejak 2011 jumlah pabrik rokok masih ada sebanyak 1.540. Lalu di 2012 menjadi 1.000 pabrik, pada 2013 sebanyak 800 pabrik, di 2014 menjadi sebanyak 700 pabrik, berkurang menjadi 600 pabrik di 2015 dan 2016. Serta di 2017 hanya menjadi 487 pabrik rokok.

Padahal, SKT adalah industri yang menyerap tenaga kerja paling besar ketimbang jenis-jenis hasil tembakau lainnya. Industri ini adalah industri padat karya yang menaungi hajat hidup ribuan buruh linting.

Ketiga, meningkatnya peredaran rokok ilegal. Kebijakan simplifikasi cukai akan memicu peredaran rokok ilegal. Hal ini bukan berdasarkan asumsi semata. Penggabungan struktur cukai tersebut tentu akan berdampak langsung pada struktur persaingan dan keberlanjutan IHT, terutama golongan menengah kecil.

Simplifikasi tarif punya potensi memperkuat karakter oligopolistik. Menghabisi industri kecil dan memperkuat pemain besar. Jika persaingan hanya diisi oleh pemain besar, maka akan muncul peredaran rokok ilegal yang disebabkan tertutupnya persaingan sehat bisnis rokok di Indonesia.

Apalagi ditambah dengan kondisi kenaikan tarif cukai yang eksesif oleh pemerintah setiap tahunnya. Konsumen akan dihadapi pada pilihan konsumsi produk yang terbatas dengan harga yang mahal. Maka, konsumsi rokok ilegal akan menjadi pilihan bagi konsumen. Jika pasar konsumennya sudah terbentuk, produksi rokok ilegal akan marak beredar.

Tiga landasan argumen tersebut menjadi alasan bagi KNPK untuk Menolak Kebijakan Simplifikasi Tarif Cukai Hasil Tembakau yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT).

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis