Hidup adalah perjuangan. Kalimat tersebut adalah salah satu judul lagu Dewa 19 dalam album Bintang Lima. Sebuah judul yang sepertinya menggambarkan betapa perjuangan Industri Hasil Tembakau dapat bertahan hingga lebih dari empat abad. Mulai dari pedagang, petani hingga para buruhnya.
Lagu tersebut layak diputar pada hari-hari ini. Mengapa begitu? Sebab, ancaman dari pemerintah terhadap pekerja Industri Hasil Tembakau (IHT) semakin nyata. Negara melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menggodok Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes). Aturan tersebut akan mengatur tentang kemasan rokok polos.
Bagaimana hal tersebut bisa menjadi usulan? Kemenkes sepertinya melihat negara-negara lain di ASEAN yang telah menerapkan hal tersebut. Meskipun Indonesia telah menerapkannya, khususnya peringatan gambar kesehatan, Kemenkes masih merasa kurang. Maka dari itu, Kemenkes ingin memperluas persentase peringatan gambar kesehatan dari 40% menjadi 50%.
Tidak hanya perluasan peringatan gambar kesehatan saja melainkan juga penyeragaman warna. Nantinya warna di kemasan rokok menjadi Pantone 448 C. Sebuah warna yang mendapat sebutan sebagai warna terjelek di dunia. Usulan aneh bin ajaib yang hingga saat ini didukung oleh banyak pihak, yaitu kaum anti rokok.
Kemasan Polos Rokok Bikin PHK
Hal yang tidak disadari oleh negara adalah masyarakat kelas bawah. Mereka lupa bahwa banyak pedagang kecil, seperti pedagang asongan yang meraih rezeki dari berjualan rokok. Bahkan, boleh dibilang bahwa 50-80% pemasukannya berasal dari jualan rokok.
Semestinya negara harus sadar hal tersebut. Oleh karena itu, akan menjadi aneh apabila negara masih ingin memaksa kemasan polos rokok. Sebab, ini juga merugikan industri percetakan dan industri-industri lainnya. INDEF pun sudah mengkalkulasi bagaimana jika Kemenkes tetap mengesahkan rancangan tersebut.
Perhitungan INDEF, kerugian negara mencapai Rp308 Triliun. Bayangkan coba. Prabowo dan Gibran baru saja dilantik tapi langsung diwarisi kehilangan penerimaan negara sebesar itu. Anehnya, pemerintahan baru masih memercayakan Kemenkes kepada Budi Gunadi Sadikin. Apa tidak menjadi kontradiksi?
Jika hal tersebut benar-benar terjadi, semestinya Prabowo dan Gibran sadar. Kehilangan angka sebesar itu sama saja kehilangan 10% dari APBN. Padahal, jujur saja, negara butuh uang. Maka dari itu, daripada harus merevisi atau mengganti aturan baru lebih baik meniadakan peraturan tersebut.
Dampaknya pun tidak main-main, lho. Negara kehilangan penerimaan, pengangguran akan bertambah besar. Dan, itu semua dari kemasan polos rokok. Maka dari itu, jangan bermain-main dengan keputusan. Seharusnya negara bisa lebih jernih dalam merumuskan kebijakan. Jangan asal tebang pilih.
Tidakkah Negara Belajar dari Pabrik Rokok Apache?
Pada pertengahan tahun 2022, penggiat industri hasil tembakau dikejutkan dengan tutupnya salah satu pabrik rokok terbesar di Blitar. Pabrik tersebut bernama Apache. Cukai rokok yang meninggi membuat harga rokok melambung. Efisiensi karyawan tidak terelakkan. Namun, seiring berjalannya waktu, akhirnya terpaksa tutup. Selamanya.
Peristiwa itu tidak akan terjadi apabila negara mendengar keluhan kita. Sekarang, baru kena karmanya. Penerimaan negara tahun 2023 tidak tercapai dan akhirnya cukai rokok 2025 tidak naik. Negara akhirnya sadar bahwa mereka sangat bergantung kepada rokok.
Kini, prediksi akan kehilangan sebesar tiga digit triliun bisa menjadi nyata. Yang menghitung bukanlah lembaga ecek-ecek. Lembaga yang sudah malang melintang di dunia perekonomian. Jika negara masih tidak ingin mendengarnya, prediksi akan menjadi kenyataan.
Sungguh akan sangat disayangkan apabila menjadi kenyataan. Lebih baik berpikir ulang. Lebih baik negara melakukan pembatalan sebelum semuanya terlambat. Toh, ini demi kebaikan bersama. Kebaikan untuk masyarakat kelas bawah.