Catatan Ekspedisi Emas Hijau Temanggung. Motor tua yang temani petani Legoksari lewati jalan terjal menuju ladang.
Daftar Isi
ToggleAda satu hal yang langsung menarik perhatian saya saat Ekspedisi Emas Hijau. Yakni motor yang digunakan oleh para petani di Legoksari, Temanggung.
Motor butut, bodi tinggal setengah, lampu buram seperti mata lelah, knalpot lebih mirip meriam kecil, dan plat nomor yang sudah tidak jelas lagi antara huruf dengan angka.
Namun, motor ini bukan sembarang motor. Ini kendaraan tempur. Kendaraan yang dibuat bukan untuk gaya-gayaan di Alun-Alun Temanggung, tapi untuk menaklukkan jalan tanjakan rusak menuju ladang di lereng Gunung Sumbing. Tepatnya di Dusun Lamuklegok, Desa Legoksari.
Partner kerja petani di Legoksari Temanggung
Motor ini bukan cuma alat transportasi. Ia adalah partner kerja. Kawan seperjuangan. Tunggangan yang sabar mendaki dan siap membonceng pupuk, cangkul, bahkan anak lanang yang disuruh mengantarkan nasi untuk sang bapak di ladang.
Dari keterangan beberapa orang yang saya jumpai, motor modifan ini dulunya adalah Honda Supra tahun 2000-an. Tapi bentuknya sudah tidak lagi Supra.
Tangkinya sudah dipermak, jok tinggal setengah, lampu depan copot, dan bannya sudah ganti dengan ban tahu. Shockbreaker? Ganti semua. Rantai dan gir juga menggunakan ukuran besar agar kuat saat nanjak. Sistem rem? Kadang rem depan saja. Kadang malah hanya pakai kaki.
Bukan hasil bengkel modifikasi mahal
Yang saya salut, semua itu bukan dikerjakan di bengkel modifikasi mahal. Tapi di garasi rumah. Sendiri. Atau paling banter dibantu kawan satu kampung.
Alat modifnyapun seadanya. Kunci L, kunci pas, palu, las rakitan. Tapi hasilnya? Motor yang siap menaklukkan jalur tanah bebatuan, jalur selebar roda, dan tikungan yang kalau salah rem bisa langsung nyemplung ke lembah.
Saya sempat ikut naik motor ini, dibonceng oleh seorang petani. Rasanya seperti naik banteng rodeo.
Melalui jalan setapak, licin karena bekas embun, dan kanan-kiri jurang atau tanaman kopi, motor melaju dengan menderu-deru. Tapi anehnya terasa tenang dan stabil. Maklum saja, pengendaranya sudah terlatih sejak kecil.
Kata petani yang membonceng saya, sudah sejak usia 12 tahun ia terbiasa membawa motor ini dari rumah ke ladang, berjam-jam, tiap hari.
Dan satu hal yang saya kagumi, mereka nggak pernah takut. Jalan seperti apa pun diterabas. Bahkan kalau ban depan lepas atau rantai putus, mereka sudah tahu harus ngapain.
Ini bukan masalah gaya hidup ekstrem. Ini tentang bertahan hidup. Tentang kerja keras yang diulang saban musim. Tentang kebijaksanaan orang desa yang tahu betul: hidup itu bukan soal keluh, tapi soal gerak.
Simbol kemandirian petani Legoksari Temanggung
Motor-motor seperti ini sering dianggap sampah di kota: tak layak jalan dan tidak estetis. Akan tetapi, di Dusun Lamuklegok, Legoksari, motor ini menjadi simbol kemandirian.
Masyarakat setempat bisa hidup karena motor ini. Mereka bisa panen karena motor ini. Bahkan bisa mengirim anak sekolah, nyicil pupuk, beli beras, semua karena motor ini terus jalan.
Saya jadi mikir, seberapa sering kita lupa menghargai alat-alat sederhana yang justru menopang hidup banyak orang? Kita sering terpesona dengan teknologi terbaru, motor listrik, mobil hybrid, drone penyemprot pupuk. Tapi di lereng Sumbing, motor-motor tua ini masih jadi tumpuan utama.
Motor-motor yang mesinnya mungkin sudah minta pensiun, tapi tetap dipaksa kerja. Dan mereka patuh. Tidak banyak protes. Asal dikasih oli bekas dan tangki diisi premium oplosan, mereka bakal hidup lagi. Jalan lagi. Nanjak lagi.
Akhirnya, saya hanya bisa diam. Ngelus dada. Lalu memotret motor itu pelan-pelan. Bukan karena bagus, tapi karena saya ingin mengingat bentuk perjuangan itu.
Perjuangan yang sederhana, sunyi, tapi nyata. Perjuangan yang tidak muncul di baliho program pemerintah atau iklan pupuk subsidi. Tapi perjuangan yang bisa ditemui di Lamuklegok. Saat musim tanam maupun panen tembakau datang, motor tua ini selalu siap kembali ke ladang.
Pengurus Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Bayu Adhi Laksono
BACA JUGA: Rumah-Rumah di Legoksari Temanggung Tak Cuma untuk Berteduh