Semua hal yang berkaitan dengan rokok itu buruk. Begitulah kenyataan yang terjadi di Indonesia. Bahkan, bagi para pakar-pakar kesehatan, rokok merupakan penyebab penyakit jantung, paru-paru, hingga kanker.
Akan tetapi, benarkah pernyataan itu?
Aktivitas merokok, tidak bisa dimungkiri, adalah aktivitas yang mengandung risiko. Maka dari itu, tidak heran apabila bungkus rokok pun tersedia peringatan merokok menyebabkan kanker, penyakit jantung, dan sebagainya.
Akan tetapi, tidak elok menyatakan bahwa rokok merupakan penyebab tunggal dari adanya penyakit-penyakit tersebut. Pasti ada faktor lain yang bahkan membuat penyakit tersebut hadir.
Semisal, Anda menghirup polusi dari asap kendaraan bermotor, mengonsumsi makanan yang mengandung gula hingga sering begadang. Aktivitas-aktivitas tersebut juga erat dengan penyakit jantung, sesak napas, dan penyakit-penyakit yang mengerikan.
Lalu, kenapa rokok yang seolah-olah menjadi penyebab tunggal atas sebuah penyakit mengerikan itu?
Rokok Bukan Penyebab Tunggal Sebuah Penyakit
Kalo rokok merupakan penyebab tunggal sebuah penyakit, mudah bagi pemerintah untuk menutup pabrik rokok. Mudah pula bagi pemerintah untuk membuat regulasi bahwa petani tidak boleh menanam tembakau.
Akan tetapi, mengapa hal tersebut tidak kunjung pemerintah lakukan?
Dugaan pertama, pemerintah masih butuh cukai rokok. Hal itu sudah terbukti dari penerimaan cukai via cukai rokok selalu melampaui target, kecuali 2023. Maka dari itu, tidak mungkin bagi pemerintah untuk menutup pabrik rokok.
Dugaan kedua, pemerintah tahu bahwa rokok bukan penyebab tunggal sebuah penyakit. Masih ada gula, asap kendaraan bermotor dan sebagainya. Namun, sepertinya pemerintah enggan untuk mengakuinya.
Pemerintah lebih suka membiarkan isu ini kontinyu dan, yang penting, dana dari cukai rokok tetap mengalir. Toh, pemerintah sebenarnya tahu bahwa pasar Indonesia memang cocok untuk perokok.
Pemerintah Harus Jujur untuk Urusan Rokok
Selama ini, pemerintah tidak pernah jujur untuk persoalan rokok. Bahkan, presidennya pun begitu. Sebagai contoh, Jokowi.
Suatu kali, saat terpilih pertama kali menjadi presiden, dan ia didesak untuk menandatangani FCTC, ia menolak. Alasannya, Indonesia punya kedaulatan masing-masing. Tidak bisa didikte oleh asing.
Sayangnya, setelah pernyataan itu pada 2016, Jokowi justru menaikkan cukai rokok yang ditotal lebih dari 100%. Apa ndak kebangetan itu?
Ya, itulah pemerintah masa kini. Anda tidak bisa membandingkannya dengan pemerintahan Gus Dur atau Soekarno untuk soal rokok.
Ketika Gus Dur menjadi presiden, beliau konsisten membela IHT. Saat harga cengkeh turun, beliau intervensi. Bahkan, beliau berdiri tegak lurus untuk tidak mengikuti saran MUI yang sempat mengharamkan rokok.
Ketika Soekarno menjadi presiden, tentu saja pasti membela perokok dan segala urusan yang melingkupinya. Apalagi, Soekarno adalah seorang perokok. Sehingga, menjadi klir bahwa beliau adalah pembela perokok.
Sedangkan Jokowi atau SBY? Masih bersikap abu-abu. Megawati atau Habibie, saya tidak terlalu yakin apakah mereka berdua juga membela Industri Hasil Tembakau.
Oleh karena itu, sudah sebaiknya pemerintah harus jujur untuk soal rokok. Ketika pemerintah membuat kebijakan kenaikan cukai rokok dengan dalihnya, yaitu menurunkan prevalensi perokok, itu palsu.
Sebab, dari tahun ke tahun, jumlah perokok terus bertambah. Bahkan, jumlah perokok di Indonesia, terutama pria, nomor satu di dunia. Jadi, sebenarnya bukan itu tujuan pemerintah.
Ya, tujuannya tentu saja cuan. Cukai rokok naik, cuan. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) malah untuk promosi dan pelayanan kesehatan. Semestinya DBH-CHT untuk asuransi kesehatan petani tembakau.
Sekarang, cuan itulah yang ingin dikembangkan pemerintah melalui bahaya rokok. Mengapa bisa begitu? Karena, dengan adanya bahaya rokok yang konon menjadi penyebab utama penyakit maka pemerintah bisa merekomendasikan hal baru.
Apa itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah produk tembakau alternatif. Alasannya dengan meminimalkan risiko dan sebagainya maka produk tembakau alternatif menjadi solusi.
Padahal, aslinya hanyalah perubahan bisnis dari layanan berhenti merokok menuju rekomendasi produk tembakau alternatif.