OPINI

Adopsi FCTC Adalah Tindakan Keliru karena Bikin Tembakau Indonesia Hancur

Tidak mudah bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) bertahan hingga detik ini. Segala carut marut, khususnya regulasi datang silih berganti. Bahkan, tidak ingin berhenti. Terbaru, dan ini sebenarnya isu lama, adalah usaha pemerintah untuk adopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes).

Rancangan aturan tersebut memasukkan, salah satunya, standarisasi kemasan. Bahkan, akan ada kemasan rokok polos. Jika benar demikian, sama saja Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengadopsi pasal 11 FCTC. Berarti, sama saja Kemenkes melakukan aksi terselubung untuk persoalan tersebut. 

Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan? Sudah pasti kita harus mendesak negara, dalam hal ini pemerintah, untuk tidak mengesahkan rancangan aturan tersebut. Sebab, jika mengesahkan, ada banyak ratusan hingga ribuan pekerja yang terancam pemutusan hubungan kerja (PHK).

Adopsi FCTC sama saja Indonesia Mudah Diintervensi

Satu hal yang semestinya tidak disadari oleh Indonesia adalah aturan dari FCTC sengaja ingin mengintervensi kedaulatan negara. Kok bisa begitu?

Jika kamu masih ingat, beberapa tahun yang lalu, Indonesia melawan aturan dari World Trade Organization (WTO). Saat itu, perlawanan berupa standarisasi kemasan dari Australia, dan kretek tidak boleh masuk ke dalam Amerika. 

Perlawanan itu berhasil. Sebab, satu argumen utuh kita, Indonesia merupakan penghasil kretek terbesar di dunia. Bahkan, boleh dibilang satu-satunya yang melestarikan kretek hanya di Indonesia.

Sehingga, menjadi wajar apabila Indonesia menjaga kedaulatan negara dengan melawan inisiasi dari WTO. Nah, sekarang, lewat Kemenkes, akan adopsi FCTC. Apakah mungkin dan relevan untuk diterapkan di Indonesia?

R-Permenkes Mengandung Banyak Polemik

Polemik yang hadir dalam tubuh R-Permenkes selalu ada dan berlipat ganda. Bahkan, polemik yang terjadi adalah penolakan. Mulai dari asosiasi pedagang, asosiasi ritel, petani tembakau, petani cengkeh, pabrikan, hingga konsumen. Maka dari itu, akan menjadi aneh apabila pemerintah tetap mengesahkan R-Permenkes. 

Sebab, dari catatan Indef, akan ada PHK setidaknya 2,2 juta pekerja. Bahkan, total kerugian yang dialami negara mencapai Rp308 Triliun. Itu sama saja lebih besar dari penerimaan cukai rokok. Apakah pemerintah yakin dan mau kehilangan pendapatan sebanyak itu? 

Padahal, Prabowo, sampai hari ini, sangat membutuhkan uang untuk penerimaan negara. Jika penerimaan negara via cukai hasil tembakau tergerus, lantas kepada siapa negara harus mengharap untung?