21 April 2025 lalu kita memperingati Hari Kartini. Sosok perempuan hebat yang tercatat dalam sejarah memperjuangkan emansipasi bagi perempuan. Karena memang perempuan kerap berada di belenggu patriarki. Bukan hanya itu, perempuan juga kerap mendapatkan sinisme oleh kaum perempuan yang lain.
Daftar Isi
ToggleHari Kartini, tapi mendiskreditkan hak perempuan
Saya agak terusik ketika membaca artikel Magdalene.co yang berjudul “#HariKartini2025: Mengepal Mawar Berduri, Menjadi Kartini di Era Digital”. Dalam artikel itu, Grestine Dwivanya selaku penulis memberikan justifikasi bahwa perempuan sedang dan telah menjadi sasaran utama kampanye industri rokok.
“Kini, promosi rokok tak lagi eksplisit, tapi dikemas dengan gaya hidup: “Bebas”, “stylish”, “feminin” — kata-kata yang dirancang untuk memikat perempuan muda. Mereka menyasar lewat influencer perempuan dengan visual imut dan menggemaskan, membungkus produk adiktif dalam label seperti “herbal”, “halal”, bahkan “slim body”, seolah-olah rokok adalah bagian dari gaya hidup sehat dan modern. Padahal sejatinya, ini adalah cara baru untuk menormalisasi bahaya, menyusupkan citra positif pada sesuatu yang destruktif.” tulis Grestine yang saya lansir dari Magdalene.
Lebih lanjut ia mengait-ngaitkan kampanye industri rokok yang katanya masih masif di media sosial. Grestine juga mengaku cukup resah terhadap kaum perempuan yang–baginya–menjadi sasaran kampanye industri rokok. Sebab baginya rokok adalah barang setan yang mesti dibabat karena mengandung segudang permasalahan kesehatan bagi para pemakainya.
Perempuan merokok bukan berarti buruk
Grestine secara implisit hendak mengatakan kalau seseorang–apalagi perempuan–merokok adalah buruk dan yang tidak merokok itu baik. Ah, merokok tidak ada kaitanya dengan moral.
Selain itu, kalau membicarakan Hari Kartini, yang menjadi narasi utama harusnya adalah bagaimana perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki.
Memang Kartini bukan perokok. Tapi membicarakan Kartini itu bukan hanya soal sosoknya, melainkan gagasan yang memperjuangkan emansipasi perempuan. Dan selama ini kita tahu bahwa perempuan kerap mendapatkan stigma yang buruk kalau dirinya merokok.
Seharusnya stigma-stigma itu yang mesti dihancurkan. Bukan malah fokus kepada industri rokok yang menyasar perempuan.
Rokok tidak berurusan dengan gender
Sejauh pengamatan saya, industri rokok tidak serta merta menjadikan perempuan sebagai sasaran.
Yang paling permukaan saja, lihatlah proses pengiklanan rokok. Pertama, tidak ada produk rokok yang beriklan dengan terang-terangan. Semuanya beriklan tanpa menunjukkan bungkus/batang rokok.
Dalam beriklan pun sudah mencantumkan usia minimal 21+. Dan tidak ada kata-kata “hanya perempuan” atau sebaliknya “hanya laki-laki”.
Artinya, merokok memang pilihan. Suka tidak suka, merokok setidaknya hingga saat ini masih menjadi aktivitas legal, sepanjang perokok tetap bertanggung jawab dalam melakukan aktivitas merokoknya (seperti tidak merokok di dekat anak kecil, di dekat ibu hamil, saat berkendara, atau di kawasan yang memang dilarang merokok seperti rumah sakit).
Juru Bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Khoirul Atfifudin
BACA JUGA: Jatuh Hati Kepada Perempuan Perokok