Sinyal bahwa pemerintah untuk mendukung rokok ilegal semakin nyata. Hal ini terlihat dari salah satu unsur pemerintah, yaitu Kementerian Kesehatan ingin membuat aturan kemasan rokok polos. Lalu, apa hubungannya aturan kemasan polos dengan rokok ilegal?
Jadi begini. Aturan kemasan polos membuat produk legal akan terlihat sama. Dalam rancangan aturan itu, kemasan akan berwarna Pantone 448C. Warna yang, menurut Wikipedia, jelek. Bahkan, warna terjelek di dunia. Silakan cek di Google dengan kata kunci Pantone 448C.
Ketika kemasan produk legal memiliki warna yang seragam maka konsumen akan bingung. Mereka tidak lagi bisa memindai mana rokok favoritnya. Meskipun sudah ada nama merek, dan konon ada penambahan logo, tetap konsumen akan sulit mengetahui mana rokoknya.
Akhirnya, jalan alternatifnya adalah konsumen mencari rokok yang lain. Rokok yang mudah dipindai dari segi warna. Dan itulah rokok ilegal. Pertanyaannya, kok rokok ilegal masih bisa berwarna?
Rokok Ilegal Tidak Memiliki Aturan
Namanya saja ilegal. Maka tidak aturan yang mengacu pada keputusan hukum. Semuanya diterabas. Kalau untuk rokok, mulai dari bahan bakunya hingga desain kemasannya. Namun, agar tampak mirip rokok legal, beberapa hal di antaranya tetap tercantum. Seperti informasi gambar kesehatan.
Akan tetapi, yang luput adalah pita cukainya. Oleh karena tidak ada pita cukai, harga rokok ilegal sangat murah. Jika Anda membeli rokok legal dengan isi 20 batang, Anda bisa merogoh kocek hingga Rp27.000 untuk SKM kelas II.
Sedangkan rokok ilegal, dengan isi serupa, Anda cukup merogoh kocek Rp10.000. Mengapa bisa semurah itu? Ya, sekali lagi, tidak melekatkan pita cukai di desain kemasan. Dengan perbedaan harga antara rokok ilegal dengan rokok legal maka bisa Anda bayangkan berapa keuntungan negara, bukan?
Makanya, negara akan marah ketika peredaran rokok ilegal masif. Sampai Bea dan Cukai mengeluarkan operasi yang bernama operasi gempur rokok ilegal. Bahkan, kepala daerah di setiap wilayah pun ikut menyuarakannya.
Jadi, betapa takutnya negara apabila kehilangan penerimaan dari sebatang rokok legal.
Aturan Kemasan Polos Bikin Rokok Ilegal Meningkat
Sekarang, aturan baru sedang digodok di tingkat pemerintahan. Aturan yang, konon, akan menyelamatkan anak-anak muda dari bahaya merokok. Aturan, yang sebenarnya, sudah ada sejak 2013. Dan yang mengeluarkannya adalah Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan.
Dalam draf terbaru, yang bikin saya mengernyitkan dahi ialah kata pengamanan zat adikit diubah menjadi standarisasi kemasan. Jika kata-kata tersebut tidak ada perubahan lagi, menteri kesehatan ingin melampaui apa yang ditetapkan di UU Kesehatan 17/2023 dan Peraturan Pemerintah No. 28/2024.
Untuk apa menteri kesehatan sampai repot harus merecoki urusan perindustrian? Ini bukan ranah menteri kesehatan. Cukup berbahaya dan terlalu intervensi. Apakah Budi Gunadi Sadikin tidak sadar dengan apa yang dilakukannya?
Jika tidak, industri hasil tembakau akan semakin remuk.
Pengesahan aturan tersebut bukan menghasilkan keputusan jangka pendek melainkan jangka panjang. Dan yang paling terancam adalah petani tembakau. Mengapa begitu?
Konsumen tidak akan terancam. Jika alasan mereka tetap ingin merokok, mereka punya dua pilihan: tingwe atau rokok ilegal. Sedangkan petani, tidak punya banyak pilihan untuk meraup keuntungan.
Ketika perusahaan-perusahaan rokok legal enggan membeli tembakau mereka maka petani akan menjualnya sendiri. Yang memprihatinkan adalah ketika mereka justru menjual kan ke pabrik rokok ilegal. Sebab, nilai ke-ekonomi-an akan sangat jauh daripada rokok legal.
Ketika petani tidak lagi meraup keuntungan atau minimal balik modal maka mereka akan rugi. Jika sudah memasuki nilai rugi, bisa jadi mereka tidak menanam tembakau. Jika kebutuhan rokok masih tinggi namun permintaan tembakau lokal tidak terpenuhi, cara alternatif adalah mengambil tembakau impor.
Siapa yang untung? Jelas negara.
Nah jika nantinya aturan kemasan polos terjadi, tak ayal peredaran hingga rokok ilegal meningkat.
Siapa yang rugi? Semua yang terkait industri hasil tembakau dari hulu hingga hilir, termasuk negara.
Jika melihat prediksi tersebut, dan potensi kehilangan Rp308 Triliun, sudah semestinya aturan kemasan polos yang bikin rokok ilegal meningkat harus dibatalkan.